Kritik wacana agama sebagai meteri PKD
KRITIK berasal dari kata bahasa
Yunani kritikos yang berarti kemampuan menganalisa dan menilai sesuatu.
Meskipun filsafat kritis membentang dari kritisisme sampai teori kritis; dari
Kant, Hegel, Marx, Freud sampai madzhab Frankfurt (Habermas dkk), tetap saja
orang akan mula-mula merujuk pada kritisisme yang digagas Immanuel Kant
(1724-1804).
Kritisisme apa yang dimaksudkan Kant? Melalui
trilogy kritik-nya yang sangat terkenal yakni; (1)Kritik der Reinen Vernunft
(Kritik atas rasio murni), (2) Kritik der Praktischen Vernunft (Kritik atas
rasio praktis) dan (3) Kritik der Urteilskraft (Kritis atas daya pertimbangan),
Kant ingin menegaskan bahwa aufklarung adalah jalan keluar untuk membebaskan
manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas diluar dirinya.
Pendeknya, Kant menyatakan bahwa harus ada
upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar
kita bisa menentukan apa yang mungkin diketahui, kita kerjakan dan kita gantungi
harapan. Inilah kritisisme yang maksud
Kant.
Dengan trilogi kritiknya itu, Kant
berusaha “memeriksa kesahihan pengetahuan” secara kritis, tidak dengan
pengujian empiris dan rasional, melainkan dengan asas-asas a priori dalam diri
subjek. Karena itu filsafatnya terkadang disebut juga transendentalisme, sebab
ia mau menemukan asas-asas a priori dalam rasio kita yang berkaitan dengan
objek-objek dunia luar; yakni apa yang disebutnya sebagai die bedingung der
moglickheit (syarat-syarat kemungkinan) dari pengetahuan kita. Sebuah
penelitian disebut transcendental kalau memusatkan diri pada kondisi-kondisi
yang murni dalam subjek pengetahuan. Di sini Kant sebenarnya mau membuat
sintesis antara empirisme yang mementingkan pengetahuan a posteriori dengan
rasionalisme yang mementingkan pengetahuan a priori. Dalam filsafat Kant,
pengetahuan dijelaskan sebagai hasil sintesis antara unsur-unsur a priori dan a
posteriori.
Filsafat Kant biasanya disebut
kritisisme. Istilah ini lazimnya dipertentangkan dengan dogmatisme. Jika
dogmatisme merupakan filsafat yang menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa
menguji batas-batasnya, kritisisme dipahami sebagai filsafat yang lebih dulu
menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya.
Dengan kata lain, Kant ingin mengatakan bahwa kritisisme adalah filsafat yang
lebih dulu menyelidiki die bedingung der moglickheit pengetahuan kita. Oleh
Karenanya, Kant menyebut beberapa filsuf sebelum dirinya sebagai filsuf
dogmatis dan yang terbesar dari mereka menurutnya adalah Wolff. Mereka ini
bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisikan itu. Demikianlah bahwa kata
kritik dipahami oleh Kant sebagai pengujian tentang kesahihan pengetahuan.
WACANA. Barasal dari kata bahasa
Inggris discourse. Biasa juga disebut diskursus. Istilah ini banyak dibicarakan
dalam Hermeneutika (Filsafat penafsiran dan pemahaman). Paul Ricoeur, misalnya,
menegaskan bahwa tugas hermeneutika adalah untuk menafsirkan dan memahami
“teks”, yang ia definisikan sebagai any discourse fixed by writing. Jadi unsur
utama dari teks, menurut Ricoeur, adalah wacana.
Dengan istilah wacana, Ricouer
merujuk kepada bahasa sebagai event, yakni bahasa yang membicarakan sesuatu.
Ini digunakannya untuk membedakan bahasa sebagai meaning. Jika bahasa sebagai
meaning adalah dimensi non-historis dan statis, maka bahasa sebagai event
adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Ricouer mengatakan: “bahasa selalu
mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu”. Pendeknya, wacana adalah bahasa
ketika ia digunakan untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahasa
lisan membentuk komunikasi langsung sehingga hermeneutika tidak diperlukan
karena ujaran yang disampaikan (speech) masih terikat langsung pada
pembicaranya dan maknanya masih bisa dirujuk langsung kepada intonasi maupun
gerak isyarat (gesture) sipembicara.
Sementara, bahasa tulisan (teks)
merupakan korpus yang otonom karena, menurut Ricoeur, memiliki kemandirian dan
totalitas yang dicirikan oleh 4 hal, yakni: (1) dalam teks, makna terdapat pada
“apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the
act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua hal tersebut tidak
terpisahkan. (2) oleh karenanya, makna teks menjadi tidak terikat lagi kepada
pembicaranya sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksudkan teks menjadi tidak
terikat lagi dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya karena
terhalang oleh teks yang sudah membaku. Riceour sempat mengatakan “kematian
penulis” meski ia lebih suka menyatakan penulis sebagai “pembaca pertama”. (3)
karena tidak lagi terikat pada sistim dialog, maka teks tidak lagi terikat pada
konteksnya semula (ostensive reference), ia tidak terikat lagi pada konteks
awal pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks adalah dunia imajiner yang
dibangun oleh teks itu sendiri. (4) dengan demikian juga, teks tidak lagi
terikat dengan audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat pada
pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan
kepada siapapun yang bisa membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan waktu
tertentu.
Filsuf lainnya yang banyak
membicarakan wacana adalah Michel Foucault. Melalui metodologi arkeologi
pengetahuan (archeology of knowledge), Foucault mengulas lebih jauh tentang
wacana (discourse), bentuk wacana (discursive formation), pernyataan
(statement), dan praktik wacana (discursive practice). Dalam the Discourse on
Language (yang termuat dalam the Archeology of Knowledge), Foucault
memperkenalkan teori kuasa dalam teori wacana. Dalam hal ini, kuasa dilihat
dengan cara pandang negative, yaitu sebagai prosedur yang membatasi wacana.
Lebih jauh, menurut Foucault, dalam setiap masyarakat, produksi wacana adalah
sekaligus dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan diretribusikan menurut
sejumlah prosedur pasti yang fungsinya digunakan untuk menghindari bahaya dan
kuasanya, mengatasi peristiwa yang tak terduga, mengelakkan dari hal yang buruk
dan materialitas yang mempesona. Dalam sebuah masyarakat, ada sejumlah prosedur
atau aturan eksklusi, yang dikategorikan menjadi 3 yakni: (1) larangan yang
saling-bersilang dan mempengaruhi satu sama lain dalam jaringan yang kompleks,
biasanya dalam seksual dan politik, (2) adanya aturan pemisahan dan penolakan,
biasanya dalam reasons dan kegilaan, (3) oposisi antara yang benar dan salah,
contohnya dalam masyarakat tertentu, yang benar dan yang kuasa dari suatu
wacana bukan terletak dalam apa yang dikatakan, tapi dalam siapa yang
mengatakan dan bagaimana itu dikatakan.
Praktik wacana (discursive
practice) sebagai proses produksi, distribusi dan konsumsi teks dipandang
Foucault sangat penting sebagai sebuah medium dan instrument dari pergulatan
kuasa, perubahan dan juga konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baik
di dalam maupun atas wacana. Wacana mentransmisikan, memproduksi dan
mengukuhkan kuasa, tetapi sekaligus juga melemahkan kuasa, membuatnya menjadi
rapuh dan memberi kemungkinan untuk merintangi kuasa. Maka, mengubah praktik
wacana merupakan elemen penting bagi perubahan masyarakat. Ini karena wacana,
paling tidak, memberi kontribusi bagi pembentukan identitas dan relasi social
dan pembentukan ideasional atau sistim-sistim pengetahuan dan kepercayaan
social.
Lebih jauh, Foucault juga konsern dengan
kritik sejarah, terutama dikaitkan dengan metode-metodenya yang khas, yakni
arkeologi (pengetahuan) dan genealogi. Arkeologi, menurut Foucault, adalah untuk menguji archive (arsip),
yakni sistim-sistim yang memantapkan statemen-statemen baik sebagai peristiwa
(dengan kondisi dan ruang pemunculannya) maupun sebagai sesuatu atau material
(dengan kemungkinan dan aplikasinya). Dengan demikian, tugas arkeologi adalah
untuk menganalisis historical apriori of episteme (apriori histories atas
episteme/sistim pemikiran). Episteme adalah kondisi yang memungkinkan bagi
munculnya pengetahuan dan teori dalam masa tertentu. Untuk itu arkeologi
(pengetahuan) harus memperlihatkan konfigurasi dari pengetahuan yang muncul
yang berbeda dari pengetahuan yang empiris atau eksplisit. Implikasinya dalam
bidang sejarah pemikiran adalah semakin berkembangbiaknya diskontinuitas-diskontinuitas
dalam sejarah pemikiran karena kecenderungan untuk menekankan pada kontinuitas
akan semakin ditinggalkan.
Sementara itu, genealogi bertujuan
untuk melawan penulisan sejarah dengan metode tradisional. Genealogi merupakan
sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian masa kini. Menurut
Foucault, sejarah selalu ditulis dalam perspektif masa kini. Genealogi tak
berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah
kontinuitas yang tak terputus. Sebaliknya, ia berusaha mengidentifikasi hal-hal
yang menyempal (accidents) dan mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan (the
minutes of deviation).
Jurgen Habermas, filsuf teori
kritis, juga tidak boleh kita lupakan ketika membicarakan wacana. Konsepnya tentang
ruang public (public sphere) sangatlah penting. Hal ini karena ruang public
merupakan lokasi tempat banyak wacana diekspresikan dan merupakan tempat
kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan. Istilah ruang publik merujuk
pada domain kehidupan social tempat opini public terbentuk. Habermas membedakan
ruang public borjuis dan ruang public ideal. Ruang public borjuis semata-mata
didasarkan atas dasar komposisi kelas dari para anggotanya. Ketika ruang public
ini semakin meluas dan semakin banyak partisipannya, situasi ini akan
menyebabkan degenerasi terhadap kualitas dari wacana public. Dalam ruang public
ideal, menurut Habermas, terjamin adanya kesetaraan serta argument yang kritis
dan rasional. Partisipan dalam diskursus public ini tidak terhambat oleh
ketidaksetaraan dalam kuasa atau ruang. Para warga negara, misalnya, bisa
mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanan koersi negara. Pengaruh ini
untuk sebagian bersifat informal dan menjadi bersifat formal secara periodic
hanya selama pemilihan umum.
Hal lain yang tak kalah pentingnya
dari Habermas adalah konsepnya tentang kritik ideology. Dalam hermeneutika,
menurut Habermas, penafsiran bukanlah merupakan unproblematic meditation of
subjectivities hanya karena disatukan oleh eksistensi mereka dalam suatu
tradisi umum. Lebih jauh, bahkan tradisinya itu sendiri harus dikenai analisis
kritis, yakni kita perlu mengetahui apa yang tersembunyi dibalik wacana-wacana
dominant, bagaimana sebuah consensus akhirnya dibentuk dan berbagai penjelasan
tentang diskontinuitas makna dan kesalahpahaman. Asumsinya, selain berfungsi
sebagai landasan primer komunikasi, Habermas juga mengkritik bahasa sebagai
medium dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Standar penafsiran yang
memadai, dengan demikian, bukan hanya aspek-aspek internal kebahasaan dan makna
yang tersembunyi dari teks. Lebih jauh, ia adalah juga keputusan yang berasal
dari factor eksternal, dan hal itu terkait dengan identifikasi hubungan dan
proses social politik yang memproduksi, mendistorsi, mengolah dan memonopoli
makna, sehingga terjadi proses yang, meminjam istilah Gramsci, kita kenal
sebagai hegemoni.
Menurut Habermas, kritik ideology
dapat kita lakukan dengan 4 tahapan, yakni: (1) Deskripsi dan interpretasi
situasi yang ada. Pada tahapan ini penelitian hermeneutika (verstehen)
diperlukan untuk mengidentifikasi dan memahami situasi yang ada, (2) Melakukan
refleksi terhadap factor penyebab situasi yang ada serta tujuan yang ingin
dicapainya. Pada tahap ini dilakukan analisis kepentingan, ideology, kekuasaan
serta legitimasinya, baik pada skala mikro dan makro sosiologis. Tahap ini oleh
Habermas disebut Psikoanalisis yakni mencari berbagai factor bawah sadar yang
menekan, mendistorsi dan menindas alam bawah sadar yang menghambat manusia
mengetahui kondisi yang sebenarnya. Diharapkan masyarakat akan menyadari
distorsi ideologis yang berakibat pada pelanggengan situasi social yang tidak
adil dan bertentangan dengan pemberdayaan demokrasi, (3) Menyusun agenda untuk
mengubah situasi menuju masyarakat egaliter, dan (4) Melakukan evaluasi.
Ideologi dengan demikian dipahami bukan hanya teoritis, tapi berdampak langsung
pada praktek kehidupan, karena itu metodologi yang dipakai dalam teori kritis
disebut juga riset aksi (action research), gabungan antara riset dan aksi dalam
bentuk pemberdayaan dan emanspiatoris.
AGAMA. Ada banyak sekali
penjelasan tentang agama dari para filsuf. Tetapi disini akan dijelaskan
penjelasan Immanuel Kant, yang cukup influential. Di dalam bukunya Religion
innerhalb der Grenzen der Bloszen Vernunft (Agama didalam batas-batas rasio
murni) (1973), Kant menjelaskan bahwa moralitas akan mengarahkan kita pada
agama. Mengapa demikian? Menurut Kant, perealisasian yang memadai dalam
pengalaman bagi perintah sebagai kategori tidaklah mungkin. Manusia hanya dapat
mencapainya dengan pertolongan Allah. Adanya harapan akan kebahagiaan, itulah
awal dari agama. Jadi menurut Kant, agama harus dijabarkan dari
ketentuan-ketentuan duniawi. Manusia yang telah menjadi sadar akan tujuan
hidupnya, yang disebabkan karena perintah-perintah moral dalam dirinya,
membangun suatu hidup diseberang sana (akhirat), yang keadaannya disesuaikan
dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam hidup diseberang sini (dunia). Kemudian
hubungan antara hidup diseberang sini dan hidup di seberang san itu dijadikan
suatu hubungan privat, antara manusia dengan Allah. Maka tampillah
kewajiban-kewajiban manusia, yang semula keluar dari dirinya sendiri itu,
sebagai perintah-perintah Allah. Demikianlah moralitas mengarahkan kita pada
agama.
Dengan itu, Kant bermaksud membuat
sintesis antara agama yang murni akali dengan agama seperti yang diajarkan
Kristen. Kant tidak setuju jika agama Kristen dipandang sebagai soal mengamini
saja apa-apa yang diajarkan Gereja. Ia juga tidak setuju jikalau dogma-dogma
gereja dipandang sebagai hal-hal yang pasti mutlak. Kant mengungkapkan bahwa
apa yang diungkapkan al-Kitab sebagai hal yang diwahyukan itu sebenarnya dapat
diketahui juga melalui rasio murni. Filsafat agama menerima dari moralitas
pengertian tentang “hal yang tertinggi” dan bagaimana cara mendekatinya. Cara
tersebut, salah satunya, lahir dari dualisme noumena dan fenoumena yang
dibangun Kant. Menurut Kant, jika kita melihat tembok, tembok dihadapan kita
itu menurut Kant bukanlah tembok pada dirinya sendiri, bukan benda itu sendiri
(das ding an sich), melainkan hanyalah penampakkan tembok itu sejauh kita
tangkap dengan panca indera. Tembok yang sejati tidak pernah terlihat, karena
dia berada dalam dunia noumena di seberang dunia fenoumena. Kita bisa melihat
tembok, karena tembok an sich itu menimbulkan penginderaan pada diri manusia
yang pada gilirannya penginderaan kita melihat tembok itu (tidak sebagaimana
adanya, melainkan) menurut struktur a priori penginderaan (kita).
Para filsuf (agama) Kantian dan
neo-Kantian, banyak menggunakan dualisme ini untuk menjelaskan konsep-konsep
kunci dalam agama. John Hick, misalnya, menggunakan dualisme ini untuk
menjelaskan the Real (realitas tertinggi). Hick menggunakan dualisme Kant
tentang the Real in-it-self (das ding an sich) dan the Real as humanly
thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas
tunggal yang dituju oleh kita (semua agama). Sementara, karena realitas tunggal
itu bersifat maha baik maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas dan
sebagainya, maka manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk
mengenalnya secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada
gambaran the Real as humanly thought-and-experienced (realitas tunggal yang
dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan manusia dan
cultural factors--lah yang kemudian menyebabkan respon orang tentang gambaran
realitas tunggal itu menjadi berbeda-beda.
Selanjutnya, mungkin muncul
pertanyaan bagaimana menghubungkan kedua the Real tersebut? Atau bagaimana the
Real as humanly thought-and-experienced yang mungkin berbeda-beda antara satu
agama dengan agama yang lainnya bisa diartikan menuju ke the Real in-it-self
yang sama? Menurut Hick, semua agama dengan the Real yang berbeda-beda itu
tetap menuju pada the Real in it self yang sama sejauh mampu melahirkan fungsi
soteriologis dari agama. Artinya, agama yang sebenarnya berorientasi pada
kehidupan diseberang sana tersebut mesti memberikan pengaruh yang baik secara
moral dan ethics bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia.
KWA & ISLAM: Prinsip Pokok & Contoh
KWA diperlukan karena krisis
pemikiran Islam yang melanda sekarang, -disamping berkaitan dengan etos kerja-,
juga antara lain disebabkan oleh dominasi perspektif tradisional-konservatif
yang meliputi hampir seluruh bidang dalam pemikiran Islam. Pandangan dunia
Islam (world view) memang telah mulai terbentuk selama 4 abad pertama
perkembangan Islam dan memperoleh bentuknya yang pasti pada abad ke- 12 Masehi.
Juga, tradisi keilmuan Islam telah melahirkan sejumlah ilmu seperti ulum
al-qur’an, ulum al-hadis, tafsir, fiqh, teologi dan sebagainya yang pada
gilirannya membentuk struktur tradisi masyarakat Islam. Namun seteleh itu,
keilmuan Islam itu sejak abad 12 tidak lagi mengalami perkembangan yang
berarti. Sejumlah ilmu tersebut belakangan menjadi penyangga utama ortodoksi,
dimana ilmu sudah dibatasi sedemikian rupa sehingga orang tidak boleh keluar
dari rambu-rambu yang sudah disusun para ulama klasik. Pendeknya, proses
ortodoksi telah menjadikan Islam sebagai wacana resmi dan tertutup.
Padahal tidak ada satu agamapun
yang lahir dalam ruang kosong. Sebaliknya, ia selalu lahir dalam konteks yang
menyejarah yang membuat eksistensinya memiliki makna. Hal ini membuktikan bahwa
agama juga berdialog dengan zamannya, dan karena dialog inilah agama dapat
menemukan signifikansinya di tengah masyarakat. Dengan berdialog itu, agama
dipercaya dapat mengubah realitas diluar dirinya dan pada saat yang sama
realitas luar itu juga berpengaruh pada agama. Selain itu, meskipun
mengemukakan nilai-nilai kemanusiaan universal, agama juga dapat dengan mudah
dijadikan alat yang efektif untuk tujuan-tujuan kekuasaan, baik pribadi ataupun
golongan. Karena itu menjadikan agama sebagai wacana resmi dan tertutup,
sejatinya, sangat berbahaya bagi agama itu sendiri dan keberagamaan kita.
Oleh karena itu, saya setuju dengan pendapat
Kuntowijoyo (2007) agar umat Islam sekarang melakukan proses demistifikasi,
yakni suatu gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks-teks agama
dengan konteksnya. Ini
diperlukan karena umat Islam sekarang dalam memahami teks-teks agama cenderung
berhenti hanya pada proses mistifikasi. Artinya, pemahaman teks-teks agama
hanya pada teks tanpa mengkaitkan dengan konteksnya. Akibatnya, teks-teks agama
kehilangan kontak dengan kenyataan, dengan realitas, dengan aktualisasi dan
dengan dunia kehidupan. Dalam tradisi akademik, proses demistifikasi bisa
diwujudkan dengan cara meletakkan Islam sebagai obyek studi ilmiah. Jadi Islam
tidak didekati sebagai agama wahyu semata, sehingga segala sesuatu harus
dikembalikan dan tunduk kepada teks-teks suci yang telah diwahyukan, melainkan
juga harus diwacanakan secara kritis, toleran dan membebaskan.
Proses demistifikasi yang
dimaksudkan Kuntowijoyo, salah satunya, bisa melalui KWA. Beberapa hal pokok
yang harus dilakukan dalam KWA antara lain (1) Kritik sejarah, yakni analisis
kritis terhadap teks-teks agama dengan menyertakan konteks sebagai factor
penting dalam menafsirkan dan memahami teks. (2) Dekonstruksi, yakni analisis
kritis terhadap agama sebagai dogma dan wacana. Agama yang selama ini dipahami
sebagai dogma dalam praktiknya tidak lagi berdaya tangkap terhadap berbagai tuntutan
perubahan masyarakat, bahkan terkadang menjadi sumber penindasan, baik secara
eksplisit maupun implisit. (3) Kritik ideologis, yakni analisis kritis terhadap
relasi antara pengetahuan (kebenaran) dan kekuasaan (relasi kuasa) dalam
pembentukan wacana keagamaan yang dominant. Setiap wacana dan penafsiran
terhadap agama yang muncul selalu memiliki relasi dengan kekuasan dan
kepentingan dimana penafsir atau penjaga tafsir itu hidup. Karena itu kebenaran
suatu tafsir agama dapat juga dilihat dalam kuasanya. Dengan demikian, harus
ada desakraslisasi atas tafsir agama.
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid
mungkin bisa menjadi contoh menarik operasionalisasi KWA. Munculnya arus KWA
diIndonesia memang dipengaruhi, salah satunya, oleh Nasr Hamid. Karyanya Naqd
al-Khitob al-Din yang kemudian diterjemahkan LKIS Yogyakarta dengan judul
Kritik Wacana Agama hamper selalu menjadi rujukan dalam setiap diskusi tentang
KWA. Dalam buku ini, Nasr Hamid mengemukakan beberapa kritik tajam atas
mekanisme pembentukan wacana agama yang sekarang menjadi arus utama dalam
Islam. Kritik itu ditujukan pada:
·
Penyatuan antara pemikiran tentang agama dan agama itu sendiri
(al-tawhid bayn al-fikr wa al-din). Implikasinya bukan saja mengabaikan jarak
epistemologis antara subyek dan obyek, lebih dari itu secara implicit mengklaim
mampu mengatasi segala kondisi dan hambatan eksistensial dan epistemologis.
Klaim kebenaran mutlak antara lain dibentuk dari mekanisme wacana agama seperti
ini. Tafsir atas agama berada setara dengan agama itu sendiri. Akibatnya,
kritik atas tafsir agama sering dipandang sebagai kritik terhadap agama itu
sendiri. Padahal, dengan menggunakan perspektif Kantian, agama sebagai noumena
dan pemikiran atas agama sebagai fenomena, adalah dua hal yang sama sekali
berbeda.
·
Menginterpretasikan seluruh fenomena, baik social maupun alam,
dengan cara mengembalikan seluruhnya para prinsip sebab utama (radd al-dhawahir
ila mubtada wahid). Mekanisme wacana ini mengandalkan emosi keberagamaan awam,
sehingga sulit untuk didiskusikan karena apapun yang ada selalu dikembalikan
kepada Yang Mutlak. Tindakan demikian sebenarnya telah menafikan manusia dan
menegasikan hokum-hukum alam dan social, serta merampas pengetahuan apapun yang
tidak didasarkan pada wacana resmi agama.
·
Mengandalkan otoritas salaf atau turats (tradisi) (al-I’timad ‘ala
al-sulthati al-turats wa al-salaf). Hal ini dilakukan dengan menggeser
teks-teks turats, yang semestinya merupakan teks sekunder, menjadi teks utama
(primer) yang diikat dengan sakralitas dan otoritas kekuasaan. Implikasinya,
wacana agama demikian menyamakan antara ijtihad dengan agama itu sendiri. Lebih
dari itu, mekanisme wacana ini juga telah memegang bentuk-bentuk formal agama,
dan pada saat yang sama mengabaikan prinsip-prinsip dasar agama (maqasid
al-syari’ah).
·
Keyakinan mental dan kepastian intelektual secara final (al-yaqinu
al-dzuhni wa al-hismi al-fikr). Implikasi keyakinan ini adalah menolak
perbedaan pemikiran apapun kecuali dalam bidang-bidang apapun yang dianggap
sebagai cabang (furu’), bukan masalah akar dan dasarnya (al-ashl). Al-ashal
dipandang sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah dan tunggal. Perubahan dan
diversifikasi atas al-ashl dipandang sebagai upaya untuk menggerogori keyakinan
agama.
·
Mengabaikan dimensi dan konteks sejarah (ihdar al-bu’di
al-tarikhi). Hal ini terlihat jelas pada romantisme masa lalu yang berlebihan,
yang mereka pandang sebagai masa keemasan Islam (al-‘ashr al-dzahabi).
Mekanisme ini selain mengabaikan konteks ruang dan waktu (geografis dan
kesejarahan) yang berbeda-beda, juga berimplikasi pada pensakralan atas hal-hal
yang profan dan temporal.
Hal-hal di atas kemudian dijadikan
titik tolak Nasr Hamid dalam merumuskan pembicaraan lebih lanjut tentang KWA.
Implikasinya adalah keharusan untuk menelusuri dan membongkar kembali
seperangkat aturan atau sistim nilai yang ada dalam agama dan meletakannya pada
aras sejarah pembentukannya dan keterbentukannya. Hal ini penting karena sistim
nilai tersebut bersentuhan dan dikonstruksi oleh sistim nilai lain yang ada
diluarnya. Dengan kata lain, mengembalikan sistim nilai yang selama ini diklaim
sebagai agama atau apa-apa yang lahir sebagai hasil dari tafsir terhadap agama
(pemikiran keagamaan) kepada dimensi historisnya (kesejarahan dan geografis)
menjadi keniscayaan.
Berkaitan dengan tafsir agama,
setiap kelompok keagamaan membangun artikulasi wacana keagamaannya secara
ideologis. Masing-masing saling berkompetisi untuk memperebutkan otoritas
kebenaran agama. Antara satu dengan yang lain saling berkompetisi,mencoba untuk
menghegemoni wacana ideologisnya melalui kekuasaan politik (control negara) dan
sistim budaya yang diklaimnya sebagai sistim universal. Melalui proses ini
(KWA), tafsir kebenaran agama itu diproduksi dan direproduksi secara terus-menerus,
ditulis dan dibaca secara berulang-ulang, dikritik dan direvisi untuk
perbaikan, serta diekspresikan dalam ruang social yang terus berubah, baik oleh
individu maupun kolektif. Dan itulah cara merealisasikan Islam rahmatan
lil-alamin yang juga shahih li kulli zaman wa makan.
PARADIGMA KRITIS TRANFORMATIF PMII
Apakah Paradigma itu?Paradigma
pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik,
dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh
Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972),
Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti ditulis
Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma.Bahkan
menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda.Namun dari 21
pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian
paradigma.1. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang
menjadi pusat kajian ilmuwan.2. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada
suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara
umum.3.
Paradigma Konstrak sebagai sesuatu
yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma
pembangunan, paradigma pergerakan dll.Masterman sendiri merumuskan paradigma
sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang
dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject
matter).sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus
dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya
menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab
persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana
sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk
melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial.Tafsir sosial
ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan. Apakah
yang disebut Teori kritis ?Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah
populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan
penilaian secara mendalam.Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha
melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas.Secara historis,
berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan
kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial,
Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman.
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi
pada tahun 1961.Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan
epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis)
dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo
kantian).Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen
Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi
Jerman.
Habermas adalah tokoh yang berhasil
mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.Teori
kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang
paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).Cara dan ciri pemikiran
aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie
der Gesselschaft”.Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori
yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut
bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus
melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok
Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan
kreatif.Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer,
Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf),
Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl
Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus
sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan
fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan
New Left di Amerika).Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori
Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme
ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah
stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur
(politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan
manusia).Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai
sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada
struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan
masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat
dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun
1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori
Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama
kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973),
Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang
kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas
yang terkenal dengan teori komunikasinya.Diungkapkan Goerge Ritzer, secara
ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :§ Teori Marxian
yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang
ekonomi;§ Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains
eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik
epistimologi;§ Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya
memperpanjang status quo;§ Kritik terhadap masyarakat modern yang
terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal
membebaskan manusia dari dominasi;§ Kritik kebudayaan yang dianggap
hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. Madzhab Frankfrut
mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis);
2. Berpikir empiris-historis;
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan
praksis; 4. Berpikir dalam realitas yang
tengah dan terus bekerja (working reality).Mereka mengembangkan apa yang
disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan
hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam
masyarakat.Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang
dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund
Freud. 1. Kritik dalam pengertian
Kantian.Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu
pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu
secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis;
tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk
menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi
pengetahuan.Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi
tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi
kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan
tinggi’.Kritik ini bersifat transendental.Kritik dalam pengertian pemikiran
Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan
tanpa prasangka. 2. Kritik dalam pengertian
Hegelian.Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis
Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk
menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan
refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute.
Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari
prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is
real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang
teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain,
kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan
pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel
didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang
menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah
manusia. 3. Kritik dalam pengertian
Marxian.Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini
adalah terbalik.Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang
bahwa, yang berdialektika adalah pikiran.Ini kesalahan serius sebab yang
berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat.Pikiran hanya
refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat).Sehingga teori
kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi
yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat.Kritik dalam pengertian
Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan
yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudian.Madzhab frankfrut
menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis
psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan
masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis
psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong
oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam
dirinya.Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran.Adopsi Teori Kritis atas
pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan
terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas,
teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif
prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang
teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :Pertama, bersifat kritis
dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir
secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga,
tidak memisahkan teori dan praksis.Tidak melepaskan fakta dari nilai
semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif. Paradigma Kritis;
Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial:William Perdue, menyatakan dalam
ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma :
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)Inti dari paradigma
keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang
terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya.Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional
terhadap masyarakat.Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme
fungsional.Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif,
pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum
kekuasaan :setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.Untuk memahami pola
pemikiran paradigma keteraturan dapat dilihat skema berikut:
Imajinasi sifat dasar manusia
Rasional, memiliki kepentingan pribadi, ketidakseimbangan personal
dan berpotensi memunculkan dis integrasi sosial
Pandangan hobes mengenai konsep dasar Negara
Imajinasi tentang masyarakat
Consensus, kohesif/fungsional struktural, ketidakseimbangan
sosial, ahistoris, konservatif, pro-status quo, anti perubahan
Negara Republic Plato
Imajinasi ilmu pengetahuan
Sistematic, positivistic, kuantitatif dan prediktif.
Fungsionalisme Auguste Comte, fungsionalisme Durkheim,
fungsionalisme struktural Talcot Parson
2. Conflic Paradigm
(Paradigma Konflik) Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma
keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :- Setiap
unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal
yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak
selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang
sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious
circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan.Konflik menjadi instrument
perubahan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma konflik dapat dilihat skema
berikut:
Elemen paradigmatik
Asumsi dasar
Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia
Rasional,kooperatif, sempurna
Konsep homo feber hegel
Imajinasi tentang masyarakat
Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi
instrument perubahan, utopia
Negara Republic plato
Imajinasi ilmu pengetahuan
Filsafat materialisme, histories, holistic, dan terapan
Materialisme historis marx
3. Plural Paradigm (Paradigma
plural)Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma
konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan
paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang
independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan
pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Untuk
memahami pola pemikiran paradigma plural dapat dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik
Asumsi dasar
Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia
Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan
menafsirkan realitas/aktif
Konsep kesadarn diri imanuel kant
Imajinasi tentang masyarakat
Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial
sebagai mekanisme control.
Konsep kontrak sosial J.J Rousseau
Imajinasi ilmu pengetahuan
Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi
Metode verstehen Weber
² Terbentuknya Paradigma
Kritis Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun
paradigma baru.Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma
kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma
konflik.Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait
denganasumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan
memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik
mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas
dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa
yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan
tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
a. Analisis struktural : membaca format politik, format ekonomi dan
politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya
untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan
eksploitatif.b.Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik
pada level nasional maupun internasional.c. Analisis kritis yang
membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai
adat, ilmu atau filsafat.Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana
resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.d.Psikoanalisis yang akan membongkar
kesadaran palsu di masyarakat.e. Analisis kesejarahan yang menelusuri
dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah baik
dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu
masyarakat. ² Kritis dan
TransformatifNamun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi
sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan
mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik,
dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang
jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya;
disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis. Dalamperspektif
Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang
tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada
agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi
perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lainmakna
tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada
wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa
dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:1. Transformasi dari
Elitisme ke PopulismeDalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan,
bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten
mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani,
pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah
yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan
pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara
riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan
isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan
kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual
terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri.Karakter
gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat
horisontal.2. Transformasi dari Negara ke MasyarakatModel tranformasi
kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak
basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F.
Hegel.Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati
kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya.Disamping itu, Hegel
mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk
meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa.Hal ini
dibantah Marx.Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai
otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini
akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk
terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau
Negara. 3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.Bentuk transformasi
ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa
terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini
tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde
baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi,
aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam
mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan
kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan
sosial di lapangan. 4. Transformasi dari Individu ke MassaModel
transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam
disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya
hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang
jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan
Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya
setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam
menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?Dari paparan
diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia,
dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis,
karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan.
Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi
penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.Dalam hal ini, paradigma kritis
diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam
memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari
ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan
ajaran agama sebagaimana mestinya.PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat
kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan,
membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik.Semua ini
adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam.Oleh karenanya
pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan
PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa
ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa
intelektual islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun. MENGAPA PMII
MEMILIH PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF ?“Berpikir Kritis & Bertindak
Tansformatif” itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir sosial yang sedang
terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII
harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan
mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa
terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut
adalah:1. Masyarakat Indonesia saat
ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran
masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa
kapitalisme dan pola berpikir positivistik
modernisme.2. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur
maupun kepercayaan (adanya pluralitas
society).3. Pemerintahan yang
menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik
(sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan
pro status quo)4. Kuatnya belenggu
dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang
agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai
kemanusiaan.Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis
Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial.
Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan
dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin
dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi
out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan
Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi
Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif. DATA-DATA BACAAN
PENUNJANG1. Andi Arief, Politik Hegemoni Gramsci, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 19992. Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat, Liberty, Yogykrta,
19923. Andree Feilrad, NU vis a vis Negara, LkiS, Jogjakarta,
19924. Bendix, Reinhard, Max Weber, Berkeley University of California
Press, 19975. Franscis Arif Budiman, Menuju Masyarakat Komunikatif,
Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius, Jogjakarta,
19926. Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius,
Jogjakarta, 19927. F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius,
Jogjakarta, 19908. Greg Barton (Ed), Radikalisme Tradisional, LKiS,
Jogjakarta, 19989. Kazuo Simogaki, Kiri Islam ; Antara Modernisme dan
Post-Modernisme(Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi), LkiS, Jogjakarta,
199310. Moh. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern,
Inis,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar