PARADIGMA GENDER PERSPEKTIF PMII (materi mapaba 2011)
(oleh : Juniska Efendi)
Untuk
memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks
(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Artinya secara biologis alat-alat yang melekat pada laki-laki atau
perempuan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan konsep gender adalah sifat-sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural (Mansour Fakih, 2006 : 8). Seperti pada daftar berikut:
|
Laki-laki
|
perempuan
|
Ketentuan Tuhan /
Kodrat / ketentuan Biologis
|
Memiliki penis,
memiliki jakala (kala menjing), memproduksi sperma.
|
Memiliki rahim, vagina,
alat untuk menyusui dan memproduksi sel telur.
|
Konstruksi
sosiokultural / adikodrati
|
laki-laki dianggap
kuat, rasional, jantan dan perkasa.
|
perempuan dikenal lemah
lembut, cantik, emosional dan keibuan
|
Ciri-ciri
sifat yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural diatas merupakan
sifat-sifat yang dapat diperdekatkan. Artinya ada laki-laki yang emosional atau
lemah lembut sementara ada juga perempuan yang rasional ataupun kuat. Ciri
sifat-sifat tersebut bisa berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke
tempat yang lain.
Sejarah
perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang. Bermula ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara
berburu dan meramu (hunting and gathering). Pada
zaman prasejarah tersebut peran laki-laki terspesialisasi dalam hal pemburuan
dan pemenuhan kebutuhan, sedangkan perempuan bertanggungjawab sebagai peramu
makanan dan merawat anak. Pola semacam ini dibentuk, diperkuat dan
dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran agama maupun Negara.
Melalui proses yang panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap dan
dipahami sebagai ketentuan Tuhan/kodrat.
Perbedaan
Gender dengan pemilihan sifat, peran dan posisi sebenarnya tidak akan menjadi
masalah selama tidak terjadi tatanan sosial yang bias gender dan peminggiran
hak-hak baik bagi kaum laki-laki atau perempuan. Namun realitanya perbedaan
gender telah memunculkan diskriminasi-diskriminasi yang menciptakan
ketidaksetaraan gender (gender
inequality) dalam sistem ekonomi, sosial dan politik.
Ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan antara lain
diskriminasi[1],
subordinasi[2],
marginalisasi[3],
kekerasan[4]
(violence) gender, stereotip[5],
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (Double Burden).
Memahami
gender sebagai ”perbedaan” tidak lagi hanya terkait dengan hubungan personal
tapi juga struktur sosial karena perbedaan gender telah melegitimasi
ketidaksetaraan sosial yang lebih menghargai laki-laki daripada perempuan.
Penyebab mengapa karakter maskulin mendapat nilai atau status yang lebih tinggi
daripada karakter feminim tidak hanya terkait dengan fakta perbedaan biologis
tapi juga karena eksistensi struktur sosial berupa kontrol laki-laki terhadap
perempuan.
Wacana Gender dalam perspektif agama
Islam
Dalam pandangan para penganutnya, Islam adalah agama yang rahmatan
li-al’alamin. Memperjuangkan dan menjamin kemaslahatan segenap umat,
termasuk di dalamnya menghendaki adanya penghormatan dan persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan (tasamuh). Dalam Islam, perempuan dianggap
istimewa dan dalam beberapa kesempatan Rasulullah mengatakan bahwa wanita
adalah tiang Negara (imad al-bilad). Tidak ada yang membedakan antara laki-laki
dan perempuan. Hanya iman dan taqwa lah yang membedakan (al-Hujurat: 13). Semua
manusia tanpa dibedakan jenis kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk
menjadi ‘abid dan khalifah (QS. Al-Nisa’, 4:124 dan S.
al-Nahl, 16:97) (Siti Musdah Mulia, 2006: 60)
Namun, tidak dapat dipungkiri munculnya gerakan gender yang mempengaruhi
pandangan agama dewasa ini memaksa, setidaknya kaum agamawan untuk mengkaji
ulang tafsiran terhadap posisi kaum perempuan yang sudah mapan. Agama dianggap
sebagai salah satu penyebab atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender.
Hal ini semakin diperkuat dengan ayat yang menjelaskan bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi perempuan (QS. Al-Nisa’, 4: 34).
Pemahaman
keagamaan yang bias gender ini tidak mustahil terjadi karena interpretasi
terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh pemahaman, penafsiran, dan
pemikiran penafsirnya (mufassir) yang erat kaitannya dengan
sosiokultural yang melingkupi Mufassir tersebut. Seluruhnya itu saling
terkait satu sama lain.
Oleh karena
itu, diperlukan kajian kritis yang memadukan analisis sosial serta gerakan
untuk membahas isu gender. Usaha ini dimaksudkan agar perempuan mampu membuat
dan menggunakan pengetahuan mereka sendiri dalam berbagai aspek kehidupan
secara luas dan menyeluruh.
Spirit gender ala PMII
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kaitannya dengan kesetaraan dan keadilan
peran, fungsi, tugas dan tanggungjawab yang termuat dalam spirit gender
berpandangan, bahwa kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki
maupun perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia
dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, dll. kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki
ataupun perempuan.
Perempuan
yang secara kuantitas lebih besar dibandingkan laki-laki seharusnya mampu
menyentuh berbagai dimensi hidup dan kehidupan bermasyarakat. Namun pada
kenyataannya, dalam praktek kehidupan sosial lebih didominasi oleh kelompok
laki-laki daripada perempuan. Ironisnya, tuntutan persamaan, kebebasan, dan
pemberdayaan hak-hak perempuan yang terus diletupkan seiring dengan semangat
pemberontakan terhadap dominasi dan kekuasaan kaum laki-laki belum mampu
dimanfaatkan secara maksimal. Ini terbukti dengan banyaknya ruang-ruang
strategis yang kosong dari partisipasi dan gagasan-gagasan pemikiran kaum
perempuan.
Meskipun
pendeskriminasian terhadap perempuan masih ada, namun hal tersebut dapat
diminimalisir dengan meningkatkan dan mengembangkan kualitas SDM perempuan.
Berbekal wacana gender kontemporer sebagai pisau analisa dalam memahami
realitas sosial masyarakat, diharapkan perempuan tidak lagi dipandang sebelah
mata dan mampu menjadi mitra kerja bagi laki-laki.
Perspektif
gender penting digunakan untuk membantu mengawal segala kebijakan yang menjadi
keputusan pemerintah yang telah menyebabkan terciptanya posisi subordinat bagi
perempuan maupun laki-laki, serta mampu mengambil sikap terhadap
kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai ataupun tidak memihak kepada mereka.
Selain dari sisi sebagai suatu studi, perspektif gender juga penting dalam
memahami praktek-praktek ekonomi, politik dan keamanan yang mempengaruhi relasi
gender antara perempuan dan laki-laki.
Dengan
meningkatnya SDM dan potensi kaum perempuan dalam berbagai bidang tentu akan
menghidupkan kembali bara semangat untuk mengisi ruang-ruang yang telah
diperuntukkan bagi mereka serta mampu mengembangkan tingkat partisipasi sebagai
mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah dibidang ekonomi,
sosial, kultural, termasuk dari sudut politik kekuasaan Negara.
Salam
pergerakan ..!!!
[2] Keyakinan bahwa salah
satu jenis kelamin dianggap lebih penting dibanding jenis kelamin yang lainnya.
[5] Citra baku tentang
individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris (pelabelan
negative)
Kamis, 23 Mei 2013
MATERI GENDER DALAM PERSPEKTIF PMII
Mendorong Kepemimpinan
Perempuan Nusantara
dan Gerakan Intelektual
Perspektif Gender
Oleh Ririend Yuriend
Dalam
perjalanan sejarah bangsa, gerakan perempuan mewarnai perjuangan berdirinya
bangsa Indonesia. Beberapa tokoh perempuan berada di garis depan perjuangan
melawan penjajah. Pada masa mempertahankan kemerdekaan tokoh-tokoh
perempuan berpartisipasi dan menyebar di berbagai bidang. Masa orde baru
pergerakan perempuan menyelusup diantara instansi-intansi dan mewarnainya dengan
isu-isu keperempuanan. Pada masa reformasi hingga saat ini, pergerakan
perempuan justru semakin nyata dalam menancapkan kukuhnya di dunia politik.
Gerakan perempuan Indonesia mencatat
tanggal 22 Desember adalah sebuah titik awal sebuah gerakan perempuan secara
nasional. Gagasan itu dicerna kaum perempuan yang aktif dalam gerakan
Kebangkitan Nasional 1908. Gejolak rasa nasionalisme dibulatkan dalam bentuk
Sumpah Pemuda tahun 1928, kemudian ditindaklanjuti oleh Kongres Perempuan
Indonesia tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini diikuti oleh 30
organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Pada waktu itu resolusi penting
yang dideklarasikan adalah “tuntutan terhadap upaya peningkatan kondisi
perempuan”.
Selayaknya
kita mengambil spirit perjuangan perempuan Nusantara terdahulu, seperti Cut
Nyak Dien pernah memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Pasukan ini terus bertempur sampai
kehancurannya pada Tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang
di medan daerah Aceh. Kemudian Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong
Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan
benteng-benteng sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu
lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya
ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.
Perempuan lain yakni Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang
kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam
medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun
1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia
dikenal sebagai gadis pemberani. KOPRI belajar dari kepemimpinan dan kegigihannya
dalam membangun bangsa.
Bicara
soal kepemimpinan perempuan ditingkatan mahasiswa, data dari Kementrian
Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa tingkat partisipasi mahasiswi di
organisasi kemahasiswaan tidak lebih dari 20% dari jumlah seluruh aktitifis
organisasi yang ada. Dari prosentase tersebut kebanyakan mahasiswi hanya
menduduki posisi kurang strategis seperti wakil bendahara, bidang kewanitaan,
atau seksi konsumsi dan administrasi jika dalam kepanitiaan. Hanya sebagian
kecil yang berada ditampuk kepemimpinan yang tertinggi dalam struktur
organisasi. Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk kepemimpinan yang
tertinggi dalam struktur organisasi. Fakta ini juga dapat dengan mudah kita
lihat pada aksi-aksi mahasiswa, seperti aksi mahasiswa tahun 1998 yang lalu.
Aksi tersebut lebih banyak melibatkan mahasiswa. dan jarang maju kedepan
menjadi orator dilapangan. Kita dapat bandingkan gerakan kaum ibu dengan
gerakan mahasiswi dalam aksi mahasiswa pada tahun yang sama, mereka mengambil
inisiatif turun kejalan. Dalam sejarah kepengurusan Senat atau pemerintahan
Mahasiswa sulit ditemukan seorang perempuan yang mampu berada di garis terdepan
pergerakan mahasiswa. Namun mulai reformasi bergulir banyak aktifis perempuan
yang menjadi garda depan dalam kepemimpinan, jumlah ini masih sangat terbatas
dan butuh perjuangan.
Ada
beberapa indikasi yang dapat kita lihat lemahnya kepemimpinan perempuan yaitu
dunia politik belum menjadi pilihan menarik bagi perempuan kalangan
intelektual. Mahasiwi belum maksimal dalam melakukan
bargaining dengan para mahasiwa/laki-laki dalam hal pengambilan
keputusan. Mahasiswi cenderung menjadi objek daripada subjek gerakan mahasiswa.
Mahasiswi kebanyakan termasuk dalam golongan mahasiswa kutu buku atau
gaul/hedonis namun minus ideology.
Mahasiswa
dan Gerakan Intelektual perspektif Gender
Dalam
perjalanan sejarah bangsa-bangsa, mahasiswa adalah elemen penting terhadap
perubahan-perubahan yang radikal. Pada awal aband ke-12 dengan berdirinya
Universitas Bologna di Paris. Lebih dikenal dengan semboyan “Gaudeamuslgtiur,
juvenes dum sumus” (kita gembira, selagi masih muda). Sedangkan di
Indonesia, Gerakan mahasiswa dan pemuda dimulai dengan Sumpah Pemuda 1928.
Selanjutnya mahasiswa pada angkatan 66, 74 dan 98, mahasiswa sebagai The agent
of sosial control sebagai pejuang penyalur aspirasi rakyat. Peran mahasiswa
berulang kali telah menjadi tumpuan harapan demi sebuah kehidupan bernegara
yang lebih baik. Runtuhnya rezim orde lama menjadi orde baru dan orde baru
menjadi reformasi adalah hasil daya kritis mahasiswa yang mampu melihat kondisi
yang tidak ideal di masyarakat. Peran aktif mahasiswa sebagai kontrol sosial,
agen perubahan ini diwujudkan melaui wadah-wadah organisasi mahasiswa
seperti PMII.
Gerakan
Mahasiswa adalah gerakan intelektual, gerakan ini bermuara dari kalangan
akademis kampus yang mengedepankan rasionalitas dalam menyikapi permasalahan.
Gerakan intelektual bermuara dari tiga hal:
Pertama,
Tradisi membaca (Reading Tradition) adalah tradisi pengembangan wacana,
memperluas wawasan. Mahasiswa harus selalu mengetahui perkembangan pengetahuan
“Buku adalah Jendela Dunia”. Membaca adalah pintu masuk awalanya pengetahuan.
Tidak hanya berhenti dalam membaca tetapi mahasiswa juga harus mampu
mentransformasikannya kepada masyarakat. Kedua, Membangun tradisi
diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus banyak membuka ruang
diskusi dan sharing. Ini adalah upaya membuka cakrawala pengetahuan dan
mendorong mahasiswa untuk selalu belajar dan belajar. Ketiga, Tradisi
menulis (Writing Tradision) adalah gerbang intelektual. Menulis bisa
bermacam-macam, menulis karya ilmiah, ataupun memulis berita. Kritik social
hari ini banyak didengungkan melalui media dan perjuangan aktivis dapat melalui
ini media. Ini jauh efektif setelah gerakan melalui pengorganisiran
massa.
Gerakan Intelektual
berbasis gender dimulai dari tiga tradisi tersebut yakni, membaca, diskusi dan
menulis. Tidak hanya membaca melalui literatur semata tetapi juga membaca dan
menganalisa kondisi sosial perempuan di masyarakat. Selanjutnya mendiskusikan,
menyususun strategi, menganalisa, mendorong munculnya kebijakan yang sensitive
terhadap gender dan menulisnya sebagai upaya transformasi sosial. Ketiga
tradisi ini harus diperkuat dalam dunia gerakan kampus. Peran penting Mahasiswi
dalam organisasi kampus diantaranya:
1.
Dunia kampus adalah penghasil pemikiran-pemikiran yang jadi sumbangsih
peradaban bangsa. Hasil pemikiran-pemikiran mahasiswi tentu menjadi sudut
pandang tersendiri. Sumbangsih pemikiran dari dunia kampus khususnya dari mahasiwi
sendiri masih sangat langka kita temukan bagi perubahan kondisi masyarakat, dan
kaum perempuan khususnya.
2.
Potensi kedudukan strategis mahasiwa dimasyarakat yang dapat masuk ke semua
struktur sosial baik kelas atas (high class), menengah (middle class), dan
bawah (low class), adalah peluang bagi mahasiswi sebagai mediator yang
menyatukan berbagai kepentingan bersama dalam rangka mewujudkan kehidupan
masyarakat yang adil dan makmur.
3.
Mahasiswi adalah sumberdaya yang sangat potensil bagi gerakan perempuan.
Mahasiswi adalah calon-calon tokoh profesional dan intelektual ketika di
masyarakat. Pemilu yang lalu, ketika peran politik perempuan begitu gencar di
suarakan oleh para aktivis perempuan, dalam realisasinya terkendala dalam
sumber daya perempuan di dunia politik yang ternyata tak mencukupi. Meskipun
dari data tingkat pendidikan perempuan sudah cukup seimbang antara tingkat
pendidikan perempuan dan laki-laki. Bahkan pengalaman di bangku perkuliahan,
kaum perempuan biasanya menonjol dalam nilai akademis, namun dalam hal terjun
ke dunia politik hal ini masih langka. Ditambah lagi pengalaman mahasiswi dalam
berpolitik ketika masih di dunia kampus yang masih kurang memadai sebagai bekal
berpolitik di masyarakat.
Peran
strategis KOPRI dalam mengawal Gerakan Intelektual dan Kepemimpinan Perempuan
Nusantara
Wadah
yang menaungi kader puteri PMII atau lebih dikenal dengan KOPRI (Korp
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri). Sejak berdiri dalam kongres
ketiga Tahun 1967, KOPRI merupakan wadah pemberdayaan perempuan yang bertujuan
untuk mengembangkan potensi kader dan mengawal isu-isu perempuan. Wadah ini
bertujuan untuk meningkatkan kualitas kader dan potensial kader puteri.
Sebuah gerakan yang memliki memiliki Paradigma Kritis Transformatif (PKT)
dalam melihat realitas kebangsaan dan berpijak pada Ahli sunnah Waljama’ah.
Selain itu memandang bahwa berbagai bentuk penindasan dan ketidak adilan
terhadap perempuan berakar pada adanya cara berfikir dan bertindak yang
merendahkan martabat dan kemanusiaan kaum perempuan. Oleh karena itu, harus ada
perubahan cara berfikir dan bertindak bersama secara sadar dan terorganisir
untuk menegakkan kembali martabat dan kemanusiaan tersebut melalui proses
penyadaran ditingkat mahasiswa dan semua elemen masyarakat.
Dengan
adanya Kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di seluruh
Indonesia, ini adalah sebuah potensi besar untuk melahirkan kepemimpinan
perempuan yang berkarakter, cerdas dan dan visioner. Hal ini diperlukan kerja
keras dan kerja cerdas Peningkatan Capacity buiding melalui penataan kaderisasi
dan pengawalan menjadi sangat penting.
Pada
periode 2011-2013, visi KOPRI PB PMII adalah membangun sinegitas KOPRI dalam
mengawal dan memperkuat kepemimpinan perempuan Nusantara. Oleh karena itu KOPRI
sebagai kawah candradimuka (tempat pengkaderan, tempat penggodokan) pemimpin
perempuan. Kerja ini dimulai dengan penguatan sistem kaderisasi KOPRI dimulai
dari Sekolah Kader KOPRI (SKK) dengan tiga tahapan. SKK I dilakukan
setelah Masa penerimaan anggota baru (Mapaba), SKK II setelah Pelatihan Kader
Dasar (PKD) dan SKK III setelah Pelatihan Kader Lanjut (PKL). Selain itu
dilakukan juga Konsolidasi Kepemimpinan di lima region yaitu, Sunda Kecil,
Kalimantan, Indonesia Timur, Sumatera dan Jawa. Konsolidasi ini bertujuan untuk
memberikan penguatan kepemimpinan bagi kader perempuan PMII yang ada di seluruh
Indonesia. Setelah purna Konsolidasi Regional dikukuhkan kembali dalam
Konsolidasi Nasional. Kerja-kerja ini dibingkai dengan nama Konsolidasi Kepemimpinan
Perempuan Nusantara. Karena gerakan Intelektual dan Kepemimpinan perempuan
Nusantara harus dilahirkan dari rahim PMII. Selain itu mengawal proses
penyadaran berkeadilan Gender dikalangan mahasiswa dan masyarakat dan
memperjuangkan lahirnya kebijakan yang berperspektif Gender berlandaskan
nilai-nilai keadilan dan penghargaan.
Salam
Pergerakan…!!!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus