Rabu, 21 Mei 2014

PMII PERSPEKTIF IDEOLOGI

MEMBEDAH PMII PERSPEKTIF IDEOLOGI
A. Pendahuluan
Semenjak kemunculan para punggawa intelektual kiri (sebut saja mazhab Frankfurt, diantaranya TW Adorno, Jurgen Habermas, dkk) pada paruh kedua abad ke 20 di Eropa, perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu dilancarkan pada seputar peran ideologi sebagai ‘wadah’ kebenaraan atau bahkan sebagai legitimasi kebenaran itu sendiri, dalam hal ini di satu sisi dinilai sebagai pencerah umat namun di sisi lain sebagai instrumen hegemoni umat.
Ideologi sering disumsikan sebagai landasan kebenaran yang paling mendasar, karenanya tidak berlebihan jika ideologi disebut sebagai sumber kebenaran dan spirit dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya lebih lanjut ideologi yang ada tidak sepenuhnya terbebas dari kepentingan prinsip peng-ada-an bahwa sesuatu itu diadakan pasti punya maksud dan tujuan, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama dan inklusif kemudian bermetamorfosa menjadi begitu eksklusif dan hanya menyokong kepentingan golongan tertentu. Hasilnya ideologi tak ubahnya tameng untuk membenarkan gaya bersikap umat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang mencerminkan sikap haus akan kekuasaan’ misalnya. Sehingga dalam konteks ini ideologi telah mengalami distorsi dan segera mendapat konfrontasi-konfrontasi argumentatif maupun demonstratif.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki umat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional, kontekstual dan tidak pilih kasih (diskriminatif), tidak menindas sehingga layak dijadikan sebagai sumber kebenaran. Dengan garis bawah, ketika peran-peran positif itu masih melekat niscaya sebuah ideologi masih diperlukan.
Di wilayah keorganisasian PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya yang kemudian disebut sebagai identitas PMII, yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur tersebut menjadi rumusan materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, bisa dikatakan semacam qonun azasi di PMII atau juga dapat disebut sebagai Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara manusia dengan lingkungan di sekelilingnya.
B. Pembahasan
Term ideologi pertama kali diusung oleh seorang revolusioner berkebangsaan Perancis, Antoine Destutt de Tracy (1754-1836). Latar belakang yang mendorong de Tracy untuk mengkaji ideology adalah adanya kecenderungan fenomena bahwa banyak ide atau pemikiran yang bergulir pada saat terjadi revolusi telah mendorong banyak orang untuk menguji validitas ide-ide tersebut dalam konstalasi politik dan pada tingkat yang paling ekstrim membuat orang rela mengorbankan hidupnya demi sebuah ide yang ia yakini.
Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita”, dan “logos” yang berarti “ilmu”. Kata idea berasal dari bahasa Yunani “ideos” yang berarti bentuk, karena itu secara terminologis ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertin-pengertian dasar. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan, dan cita-cita.[1]
Untuk lebih mendekatkan kita pada pengertian yang relevan dengan tema makalah ini, penulis perlu mengemukakan tiga pandangan terkait kajian tentang ideologi ini. Pertama, de Tracy menjelaskan ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”. Menurut de Tracy ideologi mencakup nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.
Kedua, ideologi dipersempit maknanya oleh Karl Marx dan Sigmund Freud sebagai sistem gagasan yang dapat digunakan untuk ‘merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.
Ketiga, ideologi tidak jarang dipandang negatif oleh ilmuwan misalnya Arief Budiman mengungkapkan bahwa ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta empirik. Bila anda berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’ berarti anda dianggap bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada. Dengan kata lain ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan pelopor pandangan ini adalah Marx.
Pengertian serupa dapat dilihat dalam World Book Encyclopedia, yang mendefiniskan: “Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang ada.… Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”
Ketiga pandangan diatas, sama–sama memiliki signifikansi bagi masing-masing kepentigan. Pengertian pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan dan penelitian, kedua (Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk melakukan kritik terhadap ideologi dominan (the dominant ideology). Dan tentu bagi insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi positif ideologi, yakni perannya sebagai “artikulasi kepentingan gerakan/organisasi”. Memang ideologi diciptakan untuk memberi arah bagi terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah gerakan sering di fungsikan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas gerakan. Walaupun memang ideologi mengandung kemungkinan besar memanipulasi kebenaran, tetapi tetap memiliki signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan partai politik.
Ideologi Dalam Konteks Gerakan
Ideologi dalam konteks sebuah gerakan sosial atau organisasi, atau sebagai pengatur aktivitas gerakan, memiliki beberapa aspek kunci yakni landasan filosofis dan analisis sosial, tahap-tahap perjuangan/gerakan dan masyarakat ideal dimasa depan. Artinya ideologi selalu memiliki unsur teleologis (berpijak pada tujuan-tujuan). Setelah meneliti dari berbagai sumber dan membaca kecenderungan sebuah gerakan sosial (semacam komunisme), penulis mengidentifikasi elemen kunci dari ideologi gerakan adalah:
1. Landasan filosofis (ontologis, epistemologis, aksiologis) baik tentang bagaimana realitas, manusia, masyarakat maupun sejarah didefinisikan. Marx memberi contoh :
- seperti materialisme dan dialektika dalam ontologi sejarah masyarakat manusia sekaligus metode berfikir yang menghasilkan prinsip historical materialism.
- Atau struktur sosial akan menetukan kesadaran manusia, bukan kesadaran manusia yang menentukan struktur sosial (manusia hanya obyek sejarah).
- Dan seterusnya, contoh: Ansos-nya Marx mendefinisikan ada klasifikasi kelas sosial, seperti Kapitalis, Bourguese (borjuis), dan proletar. Klasifikasi ini dilengkapi dengan teori ekonomi surplus value, untuk menjelaskan bagaimana munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
2. Tahapan perjuangan/kerja gerakan
Tahapan-tahapan yang harus/dan memang pasti dilalui untuk menuju terwujudnya kepentingan (cita-cita ideal) sebuah organisasi. Sebagai contoh Marx dalam “Manfesto der Komuniscten Partij” tahapan yang harus dilalui adalah class struggle (pertarungan kelas).
- Yakni antara kelas feodal dan kelas kapitalis (tahap I) yang menghasilkan revolusi kapitalis
- Kemudian berlanjut tahap II yakni revolusi berjuis, berupa kemenangan kelas borjuis atas kelas kapitalis
- Yang tahap terakhir adalah revolusi komunis, yang merupakan puncak kemenangan kelas proletar terhadap kelas borjuis. Revolusi inilah yang menghasilkan masyarakat ideal ala Marx (masyarakat komunis)
3. Masyarakat ideal. Masyarakat masa depan yang dicita-citakan: seperti daulah islamiyah, civil society, masyarakat komunis, masyarakat kapitalis dan seterusnya. Masyarakat yang hanya akan ada di masa depan. Marx misalnya berangkat dari cita-cita luhur untuk mewujudkan keadilan abadi di bumi, mencita-citakan masyarakat sama-rasa, sama-rata (masyarakat komunis).
Kita lihat gambaran di atas, sebuah ideologi dapat memenuhi fungsi mengarahkan aktifitas gerakan bila mampu memberikan kesan universal, obyektif dan natural. Maka ideologi selalu melakukan universalisasi, obyektifikasi sekaligus naturalisasi gagasan-gagasan yang sedang di usungnya.
Universalisasi, ideologi harus mampu menjelaskan gagasan, analisis dan pandangannya bisa berlaku di semua belahan dunia asal itu dunia manusia. Masyarakat komunis misalnya di ramalkan Marx akan bisa terjadi di semua tempat, dan oleh karena itu tahapan-tahapan revolusi-pun akan terjadi di semua tempat. Tanpa memandang suku, bangsa agama dan sejenisnya.
Obyektifikasi, ideologi harus mampu menjelaskan gagasan, analisis dan pandangannya di dukung oleh metode ilmiah dan empirik. Marx menunjukkan bagaimana cara dia menjawab pertanyaan: mengapa terjadi pengkelasan sosial? Jawabannya: adanya surplus value, yang dianut oleh pemegang modal yang diteliti dari konteks Eropa barat pada abad XIX. Bila kita amati proses ini melampaui hukum-hukum metode ilmiah yang sangat ketat, yang akhirnya sampai pada kesimpulan tertentu.
Naturalisasi, ideologi selalu berusaha menunjukkan gagasannya untuk selalu alamiah (natural), yang merupakan potret kejadian yang juga sangat alamiah. Perputaran kenyataan kehidupan baik kemasyarakatan atau yang lainnya di definisikan oleh sebuah ideologi sebagai kenyataan yang ‘apa adanya’ dan tidak di buat-buat.
Isi dan perwatakan ideologi ini, berlaku pada semua ideologi dunia seperti kapitalisme, komunisme, nasionalisme, islamisme, dan sederet ideologi besar dunia lainnya. Kesemuannya (pada titik tertentu) mampu mensistematisir gagasannya untuk menjawab persoalan kehidupan dan kemasyarakatan manusia. Fenomena sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya akan di teropong dengan pandangan mendasar sebuah ideologi bagi para penganutnya.
Untuk itu buatlah berbagai contoh jawaban dari ideologi dunia sebagaimana pengetahuan yang anda miliki, untuk mempertajam analisis kita. Walaupun dalam praktiknya kita akan menemukan kontradiksi antar elemen gagasan dalam sebuah ideologi. Misalnya: kontradiksi antara hukum dialektika materialisme atau dialektika historisme yang mengandaikan pertarungan (proses dialektis) yang tak pernah henti dan tak pernah berakhir dalam sebuah masyarakat. Adanya akhir sejarah dalam pikiran idelogi komunis, dengan terbentuknya masyarakat komunis, bertentangan dengan hukum dialektika materialisme yang tidak kenal “akhir sejarah”, sejarah adalah “pertarungan yang tiada henti”. Sebuah dialektika yang tak pernah punya akhir. Ini sebagian kecil contoh.
Oleh sebab itu, semakin kecil kontradiksi dalam sebuah ideologi, ia memiliki kekuatan menghadapi kritik dan serangan lawan ideologi. Semakin besar kontradiksi intenal antar konsep-konsep dalam sebuah ideologi, akan semakin lemah menghadapi serangan lawan ideologinya. Bagaimana dengan ideologi PMII bila di teropong dengan perspektif semacam ini.
Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII
Sebagai kader PMII tentu saja kita menghendaki PMII selalu menunjukkan bentuk dinamisnya dan peran historisnnya tidak usang oleh perubahan jaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keseriusan dalam membina keorganisasian dan bahkan melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprah PMII selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan berperadaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting dalam mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain, Pertama, berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima (5) fakta organisasi ; 1). Ideologi dan paradigma gerakan ; 2).Sistem organisasi ; 3). Sistem pengkaderan ; 4). Strategi organisasi dan ; 5). Logistik organisasi.
Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi ; 1). Relasi PMII – negara ; 2). Relasi PMII – rakyat serta kekuatan sipil lainnya ; 3), Relasi PMII – kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi ; 4). Relasi PMII – kekuatan kapitalisme global.
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII mestinya mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMII berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia di dalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal dari tradisi pemahaman ke-Islaman dan bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang paradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.
Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan ke-simpangsiur-an konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.
Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional ?. Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997-an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstelasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam Anggaran Dasarnya (AD). Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.
Daftar Rujukan
http://murdian2008.wordpress.com/pmii-perspektif-ideologi/. Di akses  pada tanggal 20 Desember 2012.
http://idelogi-pmii.blogspot.com/ Di akses  pada tanggal 20 Desember 2012.
http://pmiiliga.wordpress.com/sekilas-tentang-pmii/seputar-ideologi-pmii/ Di akses  pada tanggal 20 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar