A. Pendahuluan
Semenjak kemunculan para punggawa intelektual kiri (sebut
saja mazhab Frankfurt, diantaranya TW Adorno, Jurgen Habermas, dkk) pada paruh
kedua abad ke 20 di Eropa, perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang,
terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu dilancarkan
pada seputar peran ideologi sebagai ‘wadah’ kebenaraan atau bahkan sebagai
legitimasi kebenaran itu sendiri, dalam hal ini di satu sisi dinilai sebagai
pencerah umat namun di sisi lain sebagai instrumen hegemoni umat.
Ideologi sering disumsikan sebagai landasan kebenaran yang paling
mendasar, karenanya tidak berlebihan jika ideologi disebut
sebagai sumber kebenaran dan spirit dari operasi praksis kehidupan. Tetapi
dalam prosesnya lebih lanjut ideologi yang ada tidak sepenuhnya terbebas dari kepentingan prinsip peng-ada-an bahwa sesuatu itu diadakan pasti punya maksud dan tujuan, ironisnya
kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama dan inklusif kemudian bermetamorfosa menjadi begitu eksklusif dan hanya menyokong
kepentingan golongan
tertentu. Hasilnya ideologi tak ubahnya tameng untuk membenarkan gaya bersikap umat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang
mencerminkan sikap ‘haus akan kekuasaan’ misalnya. Sehingga dalam konteks ini ideologi telah mengalami
distorsi dan segera mendapat konfrontasi-konfrontasi argumentatif maupun demonstratif.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan
sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki umat,
ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional, kontekstual dan
tidak pilih kasih (diskriminatif), tidak menindas sehingga layak dijadikan
sebagai sumber kebenaran. Dengan garis bawah, ketika peran-peran positif itu masih melekat niscaya sebuah ideologi masih diperlukan.
Di
wilayah keorganisasian PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya yang kemudian disebut sebagai identitas PMII, yaitu keislaman
dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur tersebut menjadi rumusan materi yang terkandung dalam
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, bisa dikatakan semacam qonun azasi di PMII atau juga dapat disebut sebagai Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan,
pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola
relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos
dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara manusia
dengan lingkungan di sekelilingnya.
B. Pembahasan
Term ideologi
pertama kali diusung oleh seorang
revolusioner berkebangsaan Perancis, Antoine
Destutt de Tracy (1754-1836). Latar
belakang yang mendorong de Tracy untuk mengkaji ideology adalah adanya kecenderungan fenomena bahwa banyak ide atau pemikiran yang bergulir pada saat terjadi revolusi telah mendorong banyak orang untuk
menguji validitas ide-ide tersebut dalam konstalasi
politik dan pada tingkat
yang paling ekstrim membuat orang rela mengorbankan hidupnya demi sebuah ide yang ia yakini.
Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita”, dan “logos” yang berarti “ilmu”.
Kata idea berasal dari bahasa Yunani “ideos” yang berarti bentuk,
karena itu secara terminologis ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang
ide-ide atau ajaran tentang pengertin-pengertian dasar. Dengan demikian
ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan,
dan cita-cita.[1]
Untuk lebih mendekatkan kita pada pengertian yang relevan
dengan tema makalah ini, penulis perlu mengemukakan tiga pandangan terkait
kajian tentang ideologi ini. Pertama,
de Tracy menjelaskan ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”. Menurut
de Tracy ideologi mencakup nilai, norma,
falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau
wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut
sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.
Kedua, ideologi
dipersempit
maknanya oleh Karl Marx dan Sigmund Freud sebagai sistem
gagasan yang dapat digunakan untuk ‘merasionalisasikan, memberikan teguran,
memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak dan
pengaturan kultural tertentu.
Ketiga,
ideologi tidak jarang dipandang negatif oleh ilmuwan misalnya
Arief Budiman mengungkapkan
bahwa ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan
yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan
subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta empirik. Bila anda
berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’ berarti anda dianggap
bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada. Dengan kata
lain ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan pelopor pandangan ini adalah Marx.
Pengertian
serupa dapat dilihat dalam World Book
Encyclopedia, yang mendefiniskan: “Ideologi
tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya. Orang
cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu ini tentu
menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang
ada.… Karena itu,
orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami kesukaran mengerti
dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”
Ketiga
pandangan diatas, sama–sama memiliki signifikansi bagi masing-masing
kepentigan. Pengertian pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan
dan penelitian, kedua (Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk
melakukan kritik terhadap ideologi dominan (the
dominant ideology). Dan
tentu bagi
insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi positif ideologi, yakni
perannya sebagai “artikulasi kepentingan gerakan/organisasi”. Memang ideologi
diciptakan untuk memberi arah bagi terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok
sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah gerakan sering di fungsikan untuk mengatur
dan mengarahkan aktivitas gerakan. Walaupun memang ideologi mengandung
kemungkinan besar memanipulasi kebenaran, tetapi tetap memiliki signifikansi
bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan partai politik.
Ideologi Dalam Konteks Gerakan
Ideologi
dalam konteks sebuah gerakan sosial atau organisasi, atau sebagai pengatur
aktivitas gerakan, memiliki beberapa aspek kunci yakni landasan filosofis dan
analisis sosial, tahap-tahap perjuangan/gerakan dan masyarakat ideal dimasa
depan. Artinya ideologi selalu
memiliki unsur teleologis (berpijak pada tujuan-tujuan). Setelah meneliti dari
berbagai sumber dan membaca kecenderungan sebuah gerakan sosial (semacam
komunisme), penulis mengidentifikasi elemen kunci dari ideologi gerakan adalah:
1.
Landasan filosofis (ontologis, epistemologis, aksiologis) baik tentang bagaimana realitas, manusia,
masyarakat maupun sejarah didefinisikan. Marx memberi contoh :
-
seperti materialisme dan dialektika dalam ontologi sejarah masyarakat manusia
sekaligus metode berfikir yang menghasilkan prinsip historical materialism.
- Atau
struktur sosial akan menetukan kesadaran manusia, bukan kesadaran manusia yang menentukan struktur sosial (manusia
hanya obyek sejarah).
- Dan seterusnya, contoh: Ansos-nya Marx
mendefinisikan ada
klasifikasi kelas sosial, seperti Kapitalis, Bourguese (borjuis), dan proletar. Klasifikasi ini dilengkapi
dengan teori ekonomi surplus value,
untuk menjelaskan bagaimana munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
2. Tahapan
perjuangan/kerja gerakan
Tahapan-tahapan
yang harus/dan memang pasti dilalui untuk menuju terwujudnya kepentingan (cita-cita
ideal) sebuah organisasi. Sebagai
contoh Marx dalam “Manfesto der
Komuniscten Partij” tahapan yang harus dilalui adalah class struggle (pertarungan kelas).
- Yakni antara kelas feodal dan kelas kapitalis (tahap I) yang menghasilkan revolusi kapitalis
- Kemudian berlanjut tahap II yakni revolusi berjuis, berupa kemenangan kelas borjuis atas kelas kapitalis
- Yakni antara kelas feodal dan kelas kapitalis (tahap I) yang menghasilkan revolusi kapitalis
- Kemudian berlanjut tahap II yakni revolusi berjuis, berupa kemenangan kelas borjuis atas kelas kapitalis
- Yang
tahap terakhir adalah revolusi komunis, yang merupakan puncak kemenangan kelas
proletar terhadap kelas borjuis. Revolusi inilah yang menghasilkan masyarakat
ideal ala Marx (masyarakat komunis)
3.
Masyarakat ideal. Masyarakat masa depan yang dicita-citakan: seperti daulah islamiyah, civil society, masyarakat komunis, masyarakat kapitalis dan
seterusnya. Masyarakat yang hanya akan ada di masa depan. Marx misalnya berangkat dari cita-cita luhur
untuk mewujudkan keadilan abadi di bumi, mencita-citakan masyarakat sama-rasa,
sama-rata (masyarakat komunis).
Kita lihat gambaran di atas, sebuah ideologi
dapat memenuhi fungsi mengarahkan aktifitas gerakan bila mampu memberikan kesan
universal, obyektif dan natural. Maka ideologi selalu melakukan universalisasi,
obyektifikasi sekaligus naturalisasi gagasan-gagasan yang sedang di usungnya.
Universalisasi, ideologi harus mampu
menjelaskan gagasan, analisis dan pandangannya bisa berlaku di semua belahan
dunia asal itu dunia manusia. Masyarakat komunis misalnya di ramalkan Marx akan
bisa terjadi di semua tempat, dan oleh karena itu tahapan-tahapan revolusi-pun akan terjadi di semua
tempat. Tanpa memandang suku, bangsa agama dan sejenisnya.
Obyektifikasi, ideologi harus mampu menjelaskan
gagasan, analisis dan pandangannya di dukung oleh metode ilmiah dan empirik. Marx menunjukkan bagaimana cara dia menjawab
pertanyaan: mengapa terjadi pengkelasan sosial?
Jawabannya: adanya surplus value,
yang dianut oleh pemegang modal yang diteliti dari konteks Eropa barat pada
abad XIX. Bila kita amati proses ini melampaui hukum-hukum metode ilmiah yang
sangat ketat, yang akhirnya sampai pada kesimpulan tertentu.
Naturalisasi, ideologi selalu berusaha
menunjukkan gagasannya untuk selalu
alamiah (natural), yang merupakan potret kejadian yang juga sangat alamiah. Perputaran kenyataan kehidupan
baik kemasyarakatan atau yang lainnya di definisikan oleh sebuah ideologi
sebagai kenyataan yang ‘apa adanya’ dan tidak di buat-buat.
Isi dan perwatakan ideologi ini, berlaku pada
semua ideologi dunia seperti kapitalisme, komunisme, nasionalisme, islamisme,
dan sederet ideologi besar dunia lainnya. Kesemuannya (pada titik tertentu) mampu mensistematisir gagasannya
untuk menjawab persoalan kehidupan dan kemasyarakatan manusia. Fenomena sosial,
ekonomi, budaya, dan lainnya akan di teropong dengan pandangan mendasar sebuah
ideologi bagi para penganutnya.
Untuk itu buatlah berbagai contoh jawaban dari
ideologi dunia sebagaimana pengetahuan yang anda miliki, untuk mempertajam
analisis kita. Walaupun dalam praktiknya kita akan menemukan kontradiksi antar
elemen gagasan dalam sebuah ideologi. Misalnya: kontradiksi antara hukum
dialektika materialisme atau dialektika historisme yang mengandaikan
pertarungan (proses dialektis) yang tak pernah henti dan tak pernah berakhir
dalam sebuah masyarakat. Adanya akhir sejarah dalam pikiran idelogi komunis,
dengan terbentuknya masyarakat komunis, bertentangan dengan hukum dialektika
materialisme yang tidak kenal “akhir sejarah”, sejarah adalah “pertarungan yang
tiada henti”. Sebuah dialektika yang tak pernah punya akhir. Ini sebagian kecil
contoh.
Oleh sebab itu, semakin kecil kontradiksi dalam
sebuah ideologi, ia memiliki kekuatan menghadapi kritik dan serangan lawan
ideologi. Semakin besar kontradiksi intenal antar konsep-konsep dalam sebuah
ideologi, akan semakin lemah menghadapi serangan lawan ideologinya. Bagaimana
dengan ideologi PMII bila di teropong dengan perspektif semacam ini.
Kritik atas Ideologi dan Paradigma
Gerakan PMII
Sebagai kader PMII tentu saja kita menghendaki
PMII selalu menunjukkan bentuk dinamisnya dan peran historisnnya tidak usang
oleh perubahan jaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keseriusan dalam membina
keorganisasian dan bahkan melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi
dan kiprah PMII selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme
adalah conditio sine qua none yang
mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak
zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan
mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan berperadaban
dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan
perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran
penting dalam mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII
dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal
utama, antara lain, Pertama,
berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima (5)
fakta organisasi ; 1). Ideologi dan paradigma gerakan ; 2).Sistem organisasi ;
3). Sistem pengkaderan ; 4). Strategi organisasi dan ; 5). Logistik organisasi.
Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan
realitas sekelilingnya, yang meliputi ; 1). Relasi PMII – negara ; 2). Relasi
PMII – rakyat serta kekuatan sipil lainnya ; 3), Relasi PMII – kampus, gerakan
mahasiswa dan pro demokrasi ; 4). Relasi PMII – kekuatan kapitalisme global.
Tak
satupun organisasi bergerak tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi
berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang
kerap dimaknai sebagai “a set of closely
related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or
community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan
organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam
wilayah ideal, PMII mestinya mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar
ideologi, mulai dari; pertama, PMII
mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud
kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan
mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan
seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan
penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMII berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan
tindakannya. Dan ketiga, menggiring
PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan
masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan
dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam
intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk
peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara
terkotak-kotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan
politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi
politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja
politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah
organisasi kemahasiswaan.
Begitu
pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan
Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme
yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik
terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait
dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang.
Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan
tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta
cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya,
independensi PMII itu menjadi entry point
upaya pencarian jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai
harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang
(kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam
tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah
mampu mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa
sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih
peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun
negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan)
ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan
ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1).
Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai
satu-satunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3).
Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan
itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak
di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat
intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya
pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma
gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi
sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh
PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia
di dalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa
tertinggi berasal dari tradisi pemahaman ke-Islaman dan bersumber dari
nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj
al-fikr).
Sedangkan
paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai
universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional
dengan background sosial dan historis
(tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas
Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S.
Kuhn yang memandang paradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan,
pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi
sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan
realitas sosial (Kuhn, 1962).
Dengan
ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari
landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi
cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan
berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya,
PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya,
bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar
PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.
Namun,
harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan ke-simpangsiur-an konsep maupun
aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas
ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab
ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.
Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada
rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja
sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi
otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya
pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai,
menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan
dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional ?. Jangan-jangan
ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang
kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam
mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak
dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar
tahun 1996-1997-an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental
sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstelasi ini menempatkan manusia
sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia
tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu
sisi sebagai khalifatullah yang memiliki
tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan,
dan di sisi lain sebagai abdullah
yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan.
Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang
paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang
mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi
pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas
normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas
berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa
warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan
realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan
teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara
itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal
pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu
menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak
teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ?
Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat
banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang
telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang
dan waktu (space and time) serta harus
bersifat terbuka atas perubahan (open
ended). Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan
sebuah community consensus baru, hal
ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/
tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan
penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang
dan berubah-ubah.
Persoalan
menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif
tersebut dalam Anggaran Dasarnya (AD). Sebab, dengan memasukkan paradigma
tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu
digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak
sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak
permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan
paradigma itu diterapkan.
Sangat
wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan
teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri?
Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan
paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh
tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan
ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan
paradigma PMII sendiri.
Daftar
Rujukan
http://murdian2008.wordpress.com/pmii-perspektif-ideologi/.
Di akses pada tanggal 20 Desember
2012.
http://idelogi-pmii.blogspot.com/
Di akses pada tanggal 20 Desember
2012.
http://pmiitulungagung.wordpress.com/2010/08/10/kritik-atas-ideologi-dan-paradigma-gerakan-pmii/
Di akses pada tanggal 20 Desember
2012.
http://pmiiliga.wordpress.com/sekilas-tentang-pmii/seputar-ideologi-pmii/
Di akses pada tanggal 20 Desember
2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar