PMII
Oleh juniska
MUQODIMAH
Sebagai organisasi kader dan gerakan sudah tentu PMII harus memiliki “perangkat
ideologisasi” untuk menjadi pijakan seluruh kadernya dalam berfikir,
bersikap dan bertindak serta bergerak.
Ini penting karena kalau tidak, maka bisa dipastikan bahwa organisasi akan
tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas bahkan akan lepas kendali (untuk
tidak mengatakan bubar).
Selama hampir 47 tahun PMII berdiri, sudah banyak perdebatan panjang
terhadap apa “perangkat ideologisasi” PMII yang sesuai dengan tujuan
didirikannya PMII oleh Founding Father Pergerakan. Perdebatan itu sendiri sudah
banyak melahirkan banyak hal terkait dengan persoalan tersebut sampai kemudian
dirumuskannya 3 (tiga) hal penting diPMII, yaitu Nilai Dasar Pergerakan,
Paradigma Kritis Transformatif dan Ahlussunnah Wal Jama’ah Manhajul Fikr.
Diharapkan dari ketiganya dapat dipergunakan sebagai pijakan seluruh kader
PMII seIndonesia untuk menentukan action planning dan aktivitas gerakan apa
yang harus dilakukan. Tentunya dengan tidak meninggalkan perdebatan atas
ketiganya.
TENTANG NILAI DASAR PERGERAKAN
NDP merupakan tali pengikat (kalimatun sawa’) yang mempertemukan
semua warga pergerakan dalam ranah dan semangat perjuangan yang sama. Seluruh
warga PMII harus memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik
secara personal atau secara bersama-sama, dalam medan perjuangan sosial yang
lebih luas dengan melakukan keberpihakan yang nyata melawan ketidakadilan,
kesewenang-wenangan, kekerasan, dan tindakan-tindakan negatif lainnya. NDP ini
dengan demikian memungkinkan warga PMII senantiasa memiliki kepedulian sosial
yang tinggi (faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya/ faham dan peka
terhadap kemaslahatan makhluk didunia)
Arti
NDP adalah nilai-nilai yang secara mendasar merupakan sublimasi nilai-nilai
kaIslaman (misal al-hurriyah/kemerdekaan, al-musawa/persamaan, ‘adalah/
keadilan, al-shulh/ perdamaian) dan keIndonesiaan (pluralisme,
demokratisasi, pancasila dll) dengan kerangka pemahaman Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, arah, dorongan serta penggerak aktifitas
PMII.
Fungsi
NDP berfungsi sebagai :
§ Kerangka Refleksi, bahwa NDP bergerak dalam
pertarungan ide-ide, paradigma, nilai-nilai yang akan memperkuat tingkat
kebenaran ideal (mengikat, absolut, total dan universal)
§ Kerangka Aksi, bahwa NDP bergerak dalam pertarungan
aksi, kerja-kerja nyata, aktualisasi diri dan pembelajaran sosial yang akan
memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran faktual
§ Kerangka Ideologis, bahwa NDP menjadi satu rumusan
yang mampu memberikan proses ideologisasi disetiap kader secara bersama-sama
dan menjadi pijakan atau landasan bagi pola pikir dan tindakan kader sebagai
insan pergerakan.
Kedudukan
Bahwa NDP menjadi sumber kekuatan ideal-moral dan menjadi pusat argumentasi
sekaligus pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap dan bertindak
dalam aktivitas pergerakan.
Rumusan NDP
§ Tauhid, bahwa meng-Esa-kan Allah SWT merupakan nilai
paling asasi.
§ Hubungan Manusia Dengan Allah, bahwa manusia adalah
sebagai hamba dan khalifah dimuka bumi ini, keduanya harus dijalankan
bersama-sama, tidak salah satunya.
§ Hubungan Manusia Dengan Manusia, bahwa manusia sama
derajatnya dengan manusia yang lainnya dan “Sebaik-baiknya manusia adalah
yang bermanfaat bagi manusia yang lain”
§ Hubungan Manusia Dengan Alam, bahwa alam harus
dipergunakan dengan perlakuan sebaik-baiknya untuk kemakmuran manusia bukan
dengan eksploitasi.
TENTANG PARAGIDMA KRITIS TRANSFORMATIF
Paradigma merupakan sesuatu yang urgen dan fundamen bagi pergerakan
organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi
pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam
sikap dan perilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah
organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak
menjadi khusus dan praksis operasional organisasi yang akhirnya menjadi
karakteristik sebuah organisasi dan gaya berfikir seseorang.
Pengertian dan Definisi
G. Ritzer (pakar sosiologi) memberikan pengertian paradigma sebagai
pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu.
Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab,
bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa
yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma
merupakan kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan
membedakan antara kelompok ilmuwan. Paradigama bekerja untuk menggolongkan,
mendefinisikan dan menghubungkan antar eksemplar, teori, metode serta instrumen
yang terdapat didalamnya.
Sedangkan PMII memberikan rumusan paradigma sebagai titik pijak untuk
menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat
rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat
dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan
kata lain, paradigma merupakan cara dalam mendekati obyek kajiannya yang ada
dalam ilmu pengetahuan.
Perbedaan paradigma yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu
masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalam menyusun teori, membuat
konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi solusi yang diambil.
Pilihan Paradigma PMII
Melihat realitas dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII, maka
PMII merumuskan dan memilih Paradigma Kritis-Tranformatif sebagai pijakan
gerakan organisasi.
Paradigma Kritis Transformatif PMII
Paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berfikir dan
metode analisis dalam memandang persoalan. Maka dengan sendirinya dia harus
diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru
ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Maka
rumusannya adalah sebagai berikut :
§ Paradigma Kritis berupaya mengangkat harkat dan
martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial
yang bersifat profan (melanggar kesucian agama)
§ Paradigma Kritis melawan segala bentuk dominasi dan
penindasan
§ Paradigma Kritis membuka tabir dan selubung
pengetahuan yang munafik dan hegemonik.
Rumusan tersebut diatas mengambil inspirasi dari tokoh-tokoh kritis
misalnya Hasan Hanafi, Mohamad Arkoun, Abed Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid,
Abdurrahman Wahid Al-Basith dll.
Dasar Pemikiran Paradigma Kritis Transformattif
§ Bahwa masyarakat Indonesia saat ini sedang
terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern/global. Kesadaran masyarakat
dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola
pikir positivistik modernisme.
§ Bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk, maka paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap
individu atau kelompok masyarakat untuk mengembangkan cipta, karya dan karsa.
Implementasi Paradigma Kritis Transformatif
Untuk memaksimalkan PKT sebagai kerangka berfikir warga dan kader, maka :
§ Perlu strategi baru dengan mengutamakan nilai-nilai
PKT itu sendiri, bukan simbolnya yang cenderung membingungkan kader.
§ Transformasi pengetahuan PKT bagi warga dan kader
pergerakan harus mendapat perhatian utama dan maksimal sehingga paradigma itu
bertul-betul menjadi kesadaran kritis secara absolut tanpa pandang bulu.
§ Untuk konsistensi penerapan PKT ini maka sikap
independensi PMII harus menjadi dasar sikap yang tidak bisa diganggu gugat dan
dipengaruhi oleh konteks apapun.
TENTANG ASWAJA MANHAJUL FIKR
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah muncul
karena sejarah pertarungan yang kemudian sampai pada titik klimaks pertarungan
ilmu kalam, antara aqli (akal) dengan naqli (teks). Masing-masing kelompok
meng-klaim bahwa dirinya paling benar dan diluar itu salah, bahkan sampai pada
vonis halal-haram dan islam-kafir.
Aswaja Sebagai Madzhab
Berangkat dari aspek sejarah kelahirannya, dulu (bahkan sampai sekarang)
Aswaja difahami dan dijalani sebagai sebuah mazhab (sekte/
golongan/kelompok keyakinan). Salah satu organisasi yang demikian adalah
Nahdlatul Ulama’ sebagaimana yang tercantum dalam Qonun Asasi-nya.
Karena difahami sebagai mazhab, maka Aswaja seperti itu membuat
pembatasan-pembatasan pemahaman, sebagaimana yang terjadi diNU. Bahwa dalam
Tauhid harus mengikuti Imam Abu Hasan Al-`Asyari dan Abu Mansyur Al- Maturidi,
kemudian dalam tasawuf harus mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-
Ghozali, serta dalam fiqh harus mengikuti Imam Syafi’i-Imam Maliki-Imam Hanafi
dan Imam Hambali.
Terlepas dari perdebatan kebenaran Aswaja sebagai Mazhab, tapi ternyata
pemahaman dan “doktrinasi” seperti ini membuat umat tidak bingung dalam
pilihan-pilihan perbedaan. Dan sampai sekarang Imam-Imam tersebut menjadi
panutan seluruh warga Nahdliyin.
Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
Karena diskursus mengenai Aswaja tidak pernah bisa lepas dari perdebatan
intelektual, maka pada sekitar dekade 90-an muncullah gagasan baru yang
genuine, bahwa Aswaja dilihat dari aspek manapun bukan merupakan mazhab tapi
manhaj (keragka berfikir). Gagasan ini dimunculkan oleh Kang Sa’id (sekarang
dosen PPS Unisma) yang baru datang dari belajar di Universitas Al-Azhar
kairo-Mesir ketika itu.
Menurut Kang Sa’id, bahwa kalau Aswaja difahami sebagai mazhab, maka dia
tidak bisa berkembang dan menyesuaikan perkembangan zaman, sehingga bisa jadi
suatu saat Aswaja-mazhab akan ditinggalkan oleh umatnya. Maka dengan semangat
ijtihad baru Kang Sa’id mempelopori “Gerakan Menggugat Qonun Asasi Hasyim
Asy’ari” yang banyak menimbulkan perdebatan mendalam diseluruh warga
Nahdliyin, tidak terkecuali PMII.
Dan kelompok yang pertama kali menerima Aswaja sebagai Manhaj adalah PMII,
karena menurut PMII Aswaja sebagai Manhaj akan lebih dapat menyelesaikan
persoalan dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Rumusanya adalah
bahwa Ahlussunnah sebagai Manhajul Fikr harus berpegang teguh pada nilai-nilai
:
§ Tasamuh
§ Tawazun
§ Tawassuth, dan
§ Ta’adul
Kiranya dari nilai-nilai dasar tersebut lahir dan tumbuh
pemikiran-pemikiran dan kesadaran-kesadaran baru mengenai kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara.
REFLEKSI KRITIS KE-KINI-AN DAN KE-DISINI-AN
Kiranya dari ketiga hal diatas, ketika sudah selesai difahami, dihayati dan
dilakukan akan melahirkan kader-kader pergerakan yang ulul-albab, atau
setidak-tidaknya sesuai dengan tujuan organisasi, bahwa tujuan PMII adalah “Terbentuknya
pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,
berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen
memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia” (AD/ART Bab IV Pasal 4).
Artinya bahwa sebagai organisasi kader dan gerakan ternyata PMII sudah
memiliki semua hal terkait dengan nilai-nilai, paradigma, metodologi, prinsip
dll.
Bahwa dalam prakteknya, NDP sebagai nilai dasar harus dipergunakan untuk
melandasi PKT dan Aswaja. Dan antara PKT dan Aswaja bukan dua hal yang bersifat
kausalitas, tapi dua hal yang dipergunakan secara bersama-sama dengan landasan
NDP untuk melakukan aktivitas-aktivitas gerakan organisasi.
Sekarang pertanyaannya adalah, sejauh mana pemahaman kita mengenai
ketiganya?
Atau justru malah kita tidak faham sama sekali, sehingga tanpa sadar dan
dengan mudah kita mengatakan misalnya Nilai PMII tidak jelas! Paradigma PMII
harus dirubah! Aswaja hanya alat doktrinasi! Dll.
Terakhir adalah persoalan Ideologi, sering kali kita mendengar bahwa
Ideologi PMII tidak jelas! Sehingga PMII tidak punya pijakan dan arah gerakan
yang pasti, bahwa seolah-olah PMII harus ber-ideologi sebagaimana pertarungan
yang hari ini terjadi (benturan ideologi).
Penulis sudah berulang kali mengutak-atik buku-buku sejarah PMII, tidak ada
satupun yang mengarahkan PMII untuk memeluk ideologi tertentu (Komunis,
Sosialis, Nasionalis, Liberalisme, Sosialisma-Demokrat, Sosialisme-Religius
dll). Saya justru melihat ini adalah kelebihan bagi PMII, karena ternyata PMII
semakin bisa memainkan perannya dalam rangka memperjuangkan pemahaman Islam
Rahmatan Lil Alamin-nya tanpa harus memeluk ideologi tertentu, artinya PMII
bisa ambil sana-ambil sini untuk dipilih mana yang lebih bermaslahah.
Mau ideologi apapun, dimanapun, kapanpun, itu terserah. Yang terpenting
adalah menjadikan NDP sebagai basis nilai, Paradigma Kritis Transformatif
sebagai titik pijak ketika berhadapan dengan realitas, dan menggunakan
Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai kerangka berfikirnya. Yang paling terpenting
sekali lagi adalah Islam Rahmatan Lil Alamin, bagaimana?
Wallaahulmuwaafiq Ilaa Aqwaamitthaarieq, Baiduri Bulan 23 Mei 2007
Habislah Sudah Masa Yang Suram, Selesai Sudah Derita Yang Lama...
Denganmu PMII Pergerakanku, Ilmu Dan Bakti Kuberikan..
“Belajar tanpa Berfikir adalah Sia-sia; Berfikir tanpa Belajar
adalah Berbahaya; Tidak Belajar dan Tidak Berfikir adalah?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar