MUKADDIMAH
Insyaf dan sadar bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan / perwakilan dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan ideology negara dan falsafah bangsa Indonesia.
Sadar dan yakin bahwa Islam merupakan panduan bagi umat manusia yang kehadirannya memberikan rahmat sekalian alam. Suatu keharusan bagi umatnya mengejewantahkan nilai Islam dalam pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dalam kehidupan masyarakat dunia.
Bahwa keutuhan komitmen keisalaman dan keindonesiaan merupakan perwujudan kesadaran beragama dan berbangsa bagi setiap insan muslim Indonesia dan atas dasar itulah menjadi keharusan untuk mempertahankan bangsa dan negara dengan segala tekad dan kemampuan, baik secara perseorangan maupun bersama-sama.
Mahasiswa Islam Indonesia sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban komitmen keislaman dan keindonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk.
Maka atas berkat rahmat Allah SWT, dibentuklah Pergerakan Mahasiswa Islam Indoensia yang berhaluan Ahlussunnah wal-jamaah dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
Buku Ini hanyalah sebagai acuan kadereisasi PMII di Kabupaten OKI, hanya diperuntukkan kader PMII kabupaten OKI saja sebagai penambah wawasan materi pengkaderan di PMII.
Pebulis menyadari buku ini masih banyak kekurangann dan kesalahannya. Dengan ini penulis mohon maaf apa bila buku ini masih jauh dari target kurikumum pengkaderan di PMII.
Wallahul Muafieq Ila Aqwamith Thariq..
COVER
MUQADIMAH
DFATAR ISI
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIQR
Sketsa Sejarah
Pengertian
Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikr
Prinsip Aswaja Sebagai Manhaj
Penutup
ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL HARAKAH
Pendahuluan
Aswaja Dalam Ruang Lingkup Dan Tradisi Nu
Nu Dan Wawasan Strategis
Aswaja Dari Madzhabi Ke Manhaji
Aswaja Dari Manhajul Fikr Ke Manhajul Harakah
Aswaja Dalam Praksis Gerakan
STRATEGI PENGEMBANGAN PMII
Pengertian
Landasan
Modal Dasar Dan Dominan
Strategi Pengembangan Kader
PENGEMBANGAN PMII
Pendahuluan
Potret PMII
Pengembangan Kader
Pengembangan Perjuangan
PENGELOLAAN OPINI DAN GERAKAN MASSA
Pengertian
Mengelola Opini Untuk Menggerakkan Massa
PARADIGMA PMII
Pendahuluan
Pengertian
Peran Paradigma
Penerapan
Penutup
ANALISIS SOSIAL (ANSOS)
Pendahjuluan
Pengertian Ansos
Ruang Lingkup Ansos
Pentingnya Teori Sosial
Langkah-Langkah Ansos
Peranan Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII
Contoh Rekayasa Sosial
ANALISIS WACANA
Pendahuluan
Pengertian
Penerapan Analisis Wacana
Contoh Analisis Wacana
Penutup
STRATEGI ADVOKASI: KONSEP DAN IMPLEMENTASI
Pengantar
Konsep Advokasi
Mengapa Kebijakan?
Advokasi: Kerangka Analisis, Kerangka Kerja Dan Kerangka Jaringan
Kaidah-Kaidah Advokasi
Cara Melakukan Advokasi
Penutup
NU DAN PETA GERAKAN ISLAM (PERSPEKTIF SEJARAH, PEMIKIRAN DAN AKSI)
Pendahuluan
Embrio Lahirnya Aliran Dalam Islam
Sejarah Munculnya Aliran Dalam Islam
Sejarah Masuknya Agama Islam Di Indonesia
Peta Pemikiran Dan Gerakan Islam Di Indonesia
Penutup
TEKNIK LOBI DAN NEGOSIASI
NAHDOTUN NISA'
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIQR
SKETSA SEJARAH
Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Alquran apakah ia mahluk atau bukan, kemudian debat antara sifat-sifat Allah antara ulama salafiyyun dengan golongan Mutazilah dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan ASWAJA terentang hingga zaman Khulafaur Rasyidin, yakni dimulai sejak terjadi perang shiffin yang melibatkan Kholifah Ali bin Abi Tholib RA dengan Muawiyyah. Bersamaan dengan kekalahan kholifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu muawiyyah, ummat islam mulailah islam terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syiah, Khowarij, Jabariyyah, Qadariyyah, Mutazilah, dll.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham ASWAJA terbesar di dunia. Mayoritas penduduk yang memeluk islam adalah penganut madzhab Syafii dan sebagian besarnya tergabung (baik tergabung secara sadar maupun tidak sadar) dalam Jamiyyah Nahdlotul Ulama yang sejak awal berdiri menegaskan sebagi pengamal islam ala Ahlusunnah wal Jamaah.
PENGERTIAN
Al-sunnah memilki arti jalan,disamping memiliki arti Al-Hadist. Disambungkan dengan Ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, Para Sahabat, dan Tabiin. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlussunnah wal Jamaah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Sahabat dan Tabiin.
NU merupakan ORMAS islam pertama kali Indonesia yang menegaskan diri berfaham ASWAJA. Dalam konstitusi dasar yang dirumuskan oleh KH. Hasyim Asyari juga tidak disebutkan definisi ASWAJA namun tertulis dalam konstitusi tersebut bahwa aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang aqidah menganut pendapat dari Abu Hasan Al-Asyari dan Al- Maturidhi, dalam bidang fiqih menganut pada salah satu madzhab empat, dan dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Junaid al Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghozali.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan aswaja sebagai manhaj al fikr. Th 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan sahabat Khotibul Umam Wiranu berjudul Membaca ulang Aswaja (PB PMII 1997). Konsep dasar yang dibawa dalam aswaja sebagai manhaj al fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tesebut dalam pengertian aswaja.
PMII memandang bahwa aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai manhaj al fikr.
Sebagai manhaj alfikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), taadul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran).
PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi :
AQIDAH
BIDANG SOSIAL POLITIK
Prinsip Syura (musyawarah)
Prinsip Al-Adl (keadilan)
Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Khifdhu al-nafs (menjaga jiwa)
Khifdhu al-din (menjag agama)
Khifdhu al-mal (menjaga harta benda)
Khifdhu al-nasl (menjaga keturunan)
Khifdhu al-irdh (menjaga harga diri)
Prinsip Al-Musawah (kesetaraan derajat)
BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syariah)
TASAWUF
PENUTUP
Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan di atur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namun demkian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL HARAKAH
PENDAHULUAN
Sebelum panjang lebar menjelaskan soal ASWAJA dan problem kekiniannya, ada baiknya bagi kalangan nahdliyyin untuk mengirimkan al-fatihah untuk para pendiri NU, para pejuang NU; Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim, Mbah Wahab, Mbah Ahmad Siddiq, dll. Bagaimanapun tanpa mereka NU tidak akan hadir, Islam Indonesia tidak akan seperti ini. Mereka semua adalah panutan dan panduan yang selalu hidup. Mbah Kholil Bangkalan adalah gurunya para guru, tanpa restunya tidak mungkin NU akan muncul sebagai organisasi, Mbah Hasyim adalah rois akbar NU pertama, sebagai pahlawan nasional juga sebagai sentrum ulama se-Jawa. Mbah Wahab adalah seorang organisator, dinamisator, motivator dan inisiator ulung, ditangannya sebuah organisasi yang kecil dapat menjadi organisasi yang besar, kuat dan rapih dan Mbah Ahmad Siddiq adalah konseptor ulung NU, ditangannya telah lahir torehan-torehan sejarah; Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam, Pedoman Berfirkir Nahdlatul Ulama, Khittah Nahdliyyah.....semoga mereka akan selalu menyertai derap langkah, gerak dan dakwah kita.....dan mereka ditempatkan disisi-Nya secara mulia. Amien.
Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) pada awalnya adalah sebuah gambaran simple tentang Islam, dimana ada beberapa hadits nabi yang menjelaskan tentang kata-kata Ahlussunnah wal Jamaah, kalau mau selamat harus mengikuti pola keagamaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, dengan berpegangan teguh terhadap al-Quran, As-sunnah, mengikuti jejak sunnah beliau, dan para sahabat khulafaurrosyidin.
ASWAJA menjadi rumit adalah pada tahap berikutnya ketika masalah-masalah ummat Islam mulai bermunculan dan tidak ada model pemecahannya pada zaman Rasul; dari mulai masalah politik kenegaraan, pemberontakan, munculnya ilmu kalam, mantiq, motodologi hukum Islam, dan problem-problem lainnya. Disinilah arus baru dimulai, yaitu sebuah arus dimana perpecahan antar kelompok ummat Islam tidak bisa dihindari, terlebih lagi ketika pandangan, pemahaman, dan ajaran sudah menjadi ideologi, maka konsekuensinya adalah membuat seperangkat aturan, kode etik, pedoman berfikir, teori pengetahuan yang akan difungsikan untuk mengawal, mengamalkan dan menyebarkan ideologi tersebut hingga akhir hayat.
Apabila kita cermati akan tahapan-tahapan sejarah perkembangan ummat Islam, maka akan terlihat terbagi dalam Lima (5) tahapan Yaitu :
Masa awal Islam, pada masa ini teks keagamaan masih hidup, dimana ada Rasulullah yang masih bisa menjadi pusat ummat Islam, ada para sahabat yang senantiasa menjaga dan mengamalkan sunnah-sunnah rasul. Semua persoalan ummat dapat ditanyakan secara langsung kepada sumbernya. Tetapi pada masa ini hasil ijtihad sahabat sudah diakui dan direstui oleh Rasul sebagai produk hukum, hal ini pernah terjadi pada sahabat Muadz bin Jabal.
Munculnya perpecahan ummat Islam, ini terjadi setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah. Disini sudah mulai terjadi pertanyaan-pertanyaan, soal dosa besar; bagaimana hukumnya orang mukmin membunuh orang mukmin, pakah termasuk dosa besar. Dari sini pula mulai muncul firqah-firqah; Khawarij, Murjiah, Syiah.
Masa munculnya ilmu-ilmu kalam, ini terjadi pada abad.....ketika ilmu kalam dan filsafat bercampur dengan persoalan ketauhidan, pada masa ini muncullah aliran Mutazilah yang merupakan arus dominan bahkan menjadi madzhab resmi negara pada waktu itu, setelah itu perbedaan pendapat pun tidak bisa dihindari, munculah Asyariyah dan Maturidiyah.
Runtuhnya khilafah Utsmani di Turki. Keruntuhan khilafah ini membawa dampak luar biasa, baik itu pada soal sikap keagamaan, pemerintahan. Pada masa ini terjadi dua persoalan besar apakah perlu mendirikan kehilafahan yang baru atau negara-negara muslim menentukan sendiri jalan hidupnya, dari sinilah lahir kongres ummat Islam di Arab Saudi dan Mesir dan memunculkan aliran Wahabi penganut Abdul Wahab, di Indonesia berdirinya Nahdlatul Ulama sebagai benteng kaum tradisional,
Mencuatnya gerakangerakan Islam kontemporer. Tema sentral dari munculnya gerakan-gerakan Islam ini adalah persoalan pemurnian ajaran Islam dari unsur Takhayul, Bidah, dan Khurafat, dan sistem politik Islam. Terhadap sistem politik Islam terbagi dua, mereka yang memaksakan Islam harus menjadi negara dan sebagian lagi Islam cukup menjadi syariah, ibadah dan etika sosial.
Dari lima tahapan sejarah perkembangan gerakan Islam ini telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan, kenapa selalu terjadi perpecahan dalam diri ummat Islam?, kenapa kebesaran sejarah ummat islam selalu lahir dari benturan politik? Kenapa sejarah kejayaan ummat Islam selalu terputus?, adakalanya sejarah kekuatan politik yang muncul, sejarah pergulatan pengetahuan yang muncul, tetapi habis itu hilang tanpa ada jejaknya!
Bangunan sejarah ummat Islam selalu menampakan sisi sejarah yang timpang, kini tidak ada bangunan sejarah yang terus menjadi, yang ada adalah sejarah yang selalu terputus, bahkan mengulang perdebatan-perdebatan yang pernah ada sebelumnya; seputar bagaimana hukumnya bidah, takhayul dan khurafat, bagaimana mendialogkan agama dan negara. Dalam sejarah gerakan ummat Islam dunia yang terjadi adalah tragedi-tragedi konspirasi, saling bunuh-membunuh, eksploitasi, ekspansi, dan terlibat perselingkuhan dan persekongkolan yang besar antara kekuatan gerakan Islam dengan negara-negara barat.
Apa yang terjadi pada perkembangan ummat islam di dunia, Indonesia pun mengalami sejarah yang serupa. Sejarah perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami beberapa tahapan,
Terjadinya proses penyebaran Islam oleh walisongo, pada fase ini terjadinya proses dialog antara kebudayaan lokal dan Islama, proses ini terus menjadi yang akhirnya menjadi wajah Islam Indonesia
Pada awal abad 20, munculnya organisasi-organisasi massa islam, Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, baik yang berbasis keagamaan maupun politik. Kemunculan organisasi ini adalah sebagai bagain dari upaya membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman kolonial dan menyebarkan faham keagamaan menurut pemahaman organisasinya masing-masing.
Fase perumusan konstitusi dasar bangsa Indonesia dan mulai munculnya perdebatan ideologi tentang perlu tidaknya piagam Jakarta menjadi salah satu butir dalam pancasila.
Munculnya Islam politik / Partai Islam
Mencuatnya gerakan-gerakan Islam, baik karena perbedaan pemahaman keagamaan, faktor kepentingan politik, maupun karena motif ekonomi, seperti; Daarul Arqom, LDII, Islam Jamaah, dll
Pada fase ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai gagasan-gagasan yang bersumber dari barat, seperti; modernisasi, pembangunan, demokratisasi, keadilan, gender, Hak Asasi Manusia, multikulturalisme. Disamping dihadapkan pada isu, muncul pula gerakan-gerakan Islam puritan yang mengetengahkan isu politik Islam dan pemurnian ajaran Islam, seperti ; Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah (FKAWJ). Pada saat ini varian isu dan gerakannnya lebih luas.
Dari perkembangan sejarah ummat Islam ini, dimanakah posisi Nahdlatul Ulama? Nahdlatul Ulama dalam sejarahnya telah membuktikan diri sebagai kekuatan bangsa Indonesia yang sangat diperhitungkan, nasionalismenya bisa menjadi titik temu antara Islam dan nasionalis, agama dan negara. Pola keagamaannya dapat menjadi titik temu antara kebudayaan lokal dan Islam. fikroh Nahdliyahnya bisa menjadi titik temu antara kepentingan agama, masyarakat, negara dan pasar. Dengan jaringan modal sosial, politiknya yang kuat, NU menjadi kekuatan bangsa yang diperhitungkan dan menjadi mediator kepentingan kelompok-kelompok Islam dunia.
ASWAJA menjadi kata kunci dalam membangun NU dan Indonesia ke depan, sejauhmana nilai-nilai ASWAJA bisa ditransformasikan keluar dan diinternasilasikan kedalam NU sendiri dan ASWAJA menjadi ruh dari Islam Indonesia itu sendiri. Kiranya perlu untuk mengkaji beberapa pemikiran tokoh-tokoh NU, agar ASWAJA dapat diformulasikan menjai manhajul harakah, mereka antara lain; KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri Syamsuri, KH. Achmad Siddiq, KH. Bisri Musthofa, KH. Dawam Anwar, KH. Muchit Muzadi, KH. Wahid Zaini, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sahal Mahfudz, KH. Tolchah Hasan dan Kh. Said Aqil Siradj
ASWAJA DALAM RUANG LINGKUP DAN TRADISI NU
Setting sosial, politik, ekonomi yang melandasi lahirnya NU
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) adalah hasil dari proses sejarah yang sangat panjang, yang sebelumnya sudah ada berbagai embrio menjelang kelahirannya. Embrio-embrio tersebut adalah:
Pada bidang ekonomi, kalangan ulama-ulama NU sudah memikirkan jauh sebelum lahirnya bayi Nahdlatul Ulama dengan membentuk mata rantai, jaringan saudagar santri yang disebut dengan Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918. Kelahirannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda dan para pengusaha Cina.
Pada bidang politik adalah dengan menggalang tokoh-tokoh nasional dan lokal pada waktu itu untuk turut serta membangun kesadaran kebangsaan melalui pendidikan, maka muncullah Nahdlatul Wathan pada tahun 1916 yang dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Pada bidang intelektual dan diskusi pemikiran telah lahir Taswirul Afkar pada tahun 1922, meskipun Taswirul Afkar ini pada pase selanjutnya melebur menjadi lembaga pendidikan bergabung bersama Nahdlatul Wathan, tetapi dari hasil diskusi gagasan dan pemikirannya cukup mempengaruhi dalam membangkitkan kesadaran nasionalisme rakyat.
Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah mata rantai dari perjuangan panjang Wali Songo, dimana Wali Songo menyebarkan Islam melalui cara-cara persuasif melalui pendekatan kebudayaan ( asimilasi budaya ) bukan dengan kekerasan seperti penyebaran Islam di berbagai belahan dunia lainnya. Nahdlatul Ulama menjadi besar karena kemampuannya dalam mengakomodir dan mengapresiasi kebudayaan lokal dan menjadikannya sebagai basis kekuatan kebudayaan dan tradisi bangsa.
Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap ideologi trans-nasional Wahabi yang hendak menyeragamkan ideologi tersebut ke seluruh penjuru dunia dan menjadikan Saudi Arabia sebagai satu-satunya pusat kekhalifahan Islam.
Secara bahasa, ada tiga kata yang membentuk istilah Ahlussunnah wal Jamaah;
Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW ( Fath al-Bari , juz XII, hal. 245)
Al-Jamaah, yakni apa yang disepakati oleh oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Kata al-Jamaah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jamaah (kelompok yang menjaga kebersamaan). (HR. Al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang nilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (471-561 H /1077-1166 M) juga menjelaskan:
Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jamaah adalah sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua). (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 800).
Lebih jelas lagi, Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari (1287-1336 H/ 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadah at-Taliqat (hal. 23-24) sebagai berikut:
Adapun Ahlussunnah wal Jamaah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi Muhamad SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafii, Maliki dan Hambali.
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental ( ushul) maupun divisional ( furu ).
Sebagai bandingan Syiah. Di antara mereka ada yang disebut Salaf, yakni generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin, dan ada juga yang disebut Kholaf , yaitu generasi yang datang kemudian. Di antaranya ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Di antara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan di antaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun) . Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam.
ASWAJA dan Tradisi Berfikih
Kalau pada masa Asyariyyah dan Maturidiyyah perdebatan ASWAJA lebih banyak pada persoalan teologi, maka pada fase munculnya jamiyyah Nahdlatul Ulama perdebatan ASWAJA lebih pada persoalan fiqih (persoalan furu) termasuk bagian di dalamnya adalah persoalan khilafiyah (variable-variable furu).
Secara definisi ilmu fiqih adalah:
“Ilmun bi al-ahkam al-syariyyah al-amaliyyah al-muktasabu min adillatiha al-tafsiliyyah , (fiqih adalah ilmu hukum-hukum syara yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci).
Definisi ini mengandung tiga substansi dasar yang sangat krusial, pertama, ilmu fiqih adalah ilmu yang paling dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial ( afalul mukallafin ) yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua, ilmu fiqih sangat rasional, mengingat ia adalah ilmu iktisabi (ilmu hasil kajian, analisis, penelitian, generalisasi, konklusiasi). Di sini terjadi kontak sinergis antara sumber transendental ( adillah ) dan rasionalitas ( mujtahid ). Ketiga, fiqih adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi, real action , atau bisa dikatakan amaliyah, bersifat praktis sehari-hari.
Fiqih juga harus berhubungan erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena fungsi fiqih adalah mengarahkan, mendorong, dan meningkatkan perilaku manusia agar sesuai dengan tuntutan agama. Perilaku manusia tentu tidak terbatas pada wilayah ibadah mahdhah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan dan sosial tersebut. Fiqih harus tampil menjadi solusi atas berbagai problem sosial tersebut.
Tradisi berfikih NU mengukuti empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
ASWAJA dan Tradisi Tasawwuf
Kemunculan tasawuf bukan baru terjadi pada generasi mutaakhirin, tetapi sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bedanya, istilah ke-tasawuf-an baru dikenal pada generasi mutaakhirin, sementara pada masa Rasulullah istilah ke-tasawuf-an belumlah dikenal, melainkan yang disebut ke-zuhud-an.
Dalam tradisi NU, ada empat puluh lima (45) Thariqat Mutabarah (Tarekat yang diakui dan dianggap pegangan), dan dianggap sanadnya muttashil (bersambung) ke rasulullah SAW, yaitu; 1) Rumiyyah, 2) Rifaiyyah, 3) Sadiyah, 4) Bakriyah, 5) Justiyah, 6) Umariyah, 7) Alawiyah, 8) Abbasiyah, 9) Zainiyah, 10) Dasuqiyah, 11) Akbariyah, 12) Bayumiyah, 13) Malamiyah, 14) Ghaibiyah, 15) Tijaniyah, 16) Uwaisiyah, 17) Idrisiyah, 18) Samaniyah, 19) Buhuriyah, 20) Usyaqiyah, 21) Kubrawiyah, 22) Maulawiyah, 23) Jalwatiyah, 24) Baerumiyah, 25) Ghazaliyah, 26) Hamzawiyah, 27) Haddadiyah, 28) Matbuliyah, 29) Sunbuliyah, 30) Idrusiyah, 31) Utsmaniyah, 32) Syadziliyah, 33) Syabaniyah, 34) Kalsyaniyah, 35) Khadhiriyah, 36) Syathariyah, 37) Khalwatiyah, 38) Bakdasyiyah, 39) Syahrawardiyah, 40) Ahmadiyah (Thariqah), 41) Isawiyah Gharbiyah, 42) Thuruqi Akabiril Auliya, 43) Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, 44) Khalidiyah wa Naqsyabandiyah, 45) Ahli Mulazamat al-Quran was Sunnah wa Dalailil Khairati wa Talimi Fathil Qaribi aw Kifayat al-Awami. Thariqat-thariqat tersebut dijadikan pegangan dan rujukan oleh organisasi Jamiyyah Ahli Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyah, Organisasi Tarekat se-Indonesia, yang berada di bawah payung organisasi Nahdlatul Ulama.
NU DAN WAWASAN STRATEGIS
Konsepsi Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) yang telah diintegrasikan ke dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan dijadikannya sebagai pedoman, dalam perkembangannya bukan hanya melandasi sebatas persoalan-persoalan keagamaan (baik itu menyangkut aqidah maupun masalah-masalah fiqihiyyat) tetapi lebih dari itu menjadi landasan dalam bersikap, bertindak, berpikir dan beragama. Dalam beberapa kali Muktamar NU, ASWAJA selalu menjadi pembahasan yang sangat hangat dan menarik, bahkan forum-forum kaum muda NU non-struktural (mereka adalah anak-anak muda NU yang berada di jalur kultural) selalu menyita perhatian dan menjadikannya topik-topik diskusi yang menarik.
Pembahasan yang cukup menghangat adalah apakah ASWAJA ini sebagai teologi-dogmatik, ataukah sebagai Manhajul Fikr, Manhajun Nahdlah , atau mungkin sebagai Harakah ? Cukup menarik mencermati berbagai pertanyaan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), bagaimana sikap ASWAJA dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana ASWAJA dalam berpolitik, dalam berekonomi dan berbudaya? Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ASWAJA diartikan sangat sederhana sekali, baik itu oleh kalangan para dai-dai NU; orang NU yang berhaluan ASWAJA adalah yang mengikuti salah satu dari empat madzhab, yang bertasawuf mengikuti Thariqat Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, yang suka tahlilan, barjanzian, ziarah kubur, manakiban, qunutan, tarawih 20 rakaat.
Kekhawatiran ini bisa dipahami, karena memang Nahdlatul Ulama dari awal pendiriannya, termasuk dalam Qanun Asasi-nya KH. Hasyim Asyari tidak menyebutkan secara jelas mengenai konsepsi ASWAJA, yang dijelaskan hanya Madzhab al-Arbaah (madzhab yang empat), selebihnya, tidak ada rumusan baik dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Tafsiran-tafsiran ASWAJA berikutnya dilandaskan pada nilai-nilai, manhajul fikr, sehingga menjadi rumusan yang hadir seperti sekarang ini. Pelembagaan ASWAJA sehingga menjadi seperti sekarang ini, disusun setelah Mbah Hasyim wafat, pada eranya KH. Bisyri Samsuri yang kemudian disistematisir lagi pada eranya KH. Achmad Siddiq. Karena dari awalnya ASWAJA bukan sebagai lembaga, hanya sebagai landasan berfikir dan landasan bergerak, maka lebih tepat lagi kalau disusun ASWAJA sebagai manhajul harakah yang akan berfungsi untuk menggerakkan roda jamiyyah dan jamaah NU.
Harus dipahami, bahwa ASWAJA dalam tubuh NU selama ini masih menjadikan NU stagnan dengan segala potensinya yang ada, baik itu potensi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dari banyak potensi ini semuanya belum menggerakkan NU menjadi sebuah organisasi yang solid, rapih dan sejahtera. Selama ini yang menjadikan NU mengakar adalah karena adanya ikatan-ikatan tradisional yang semuanya tidak terlepas dari hubungan guru-murid maupun ulama-rakyat. Sistem patronase kepemimpinan ulama inilah yang menguatkan kelembagaan ASWAJA dalam masyarakat NU.
PBNU pernah melakukan rumusan-rumusan ASWAJA dalam empat wawasan strategis dalam Muktamar NU ke-27 No. 002/MNU/1984, yaitu: wawasan tentang ke-NU-an sendiri, wawasan tentang ke-Islam-an, wawasan tentang ke-Indonesia-an. Dan wawasan tentang ke-Semesta-an (universalitas = internasionalitas = seluruh kemanusiaan). Empat wawasan strategis inilah yang coba menghadirkan NU pada setiap masa dan dengan wawasan inilah NU masih dianggap sebagai organisasi massa Islam yang moderat, meskipun anggapan ini terkadang ada untungnya tetapi juga ada ruginya. Untungnya adalah dengan dianggapnya NU sebagai organisasi yang moderat maka percaturan politik ekonomi dan sosial nasional tetap harus melibatkan NU, tetapi nilai ruginya adalah dengan anggapan ini menjadikan NU selalu berada pada pihak yang dikorbankan, baik oleh negara, pemilik modal maupun kekuatan jaringan internasional.
ASWAJA DARI MADZHABI KE MANHAJI
Ada beberapa konsep - konsep yang beberapa di antaranya pernah menjadi keputusan dalam Muktamar dan Munas NU, seperti Khittah Nahdliyah, Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan Maslahah Ummah. Tiga konsep dari keempat konsep tersebut menjadi keputusan Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyah merupakan keputusan Muktamar NU ke 26, Mabadi Khaira Ummah merupakan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1992, Fikrah Nahdliyah merupakan keputusan Msyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2006), sementara Maslahah Ummah belum menjadi keputusan Muktamar NU, hanya saja persoalan kemaslahatan ummah sudah ada rumusan dari beberapa tokoh-tokoh NU.
Adanya konsep-konsep ini menurut penulis adalah sebagai wujud dari transformasi dan internalisasi nilai-nilai ASWAJA agar lebih dapat dipahami, dan bagi warga Nahdlatul Ulama dapat menjadi panduan dalam berfikir dan bertindak. Pada kenyataannya konsep-konsep ini bukan hanya sebatas menjelaskan pada aturan-aturan keagamaan, tetapi juga menyentuh pada persoalan kebudayaan, kebangsaan, politik, dan ekonomi. Hanya saja rumusan-rumusan ini terkadang tidak disertai dengan turunan konsep yang utuh sehingga menjadi program NU yang aplikatif.
Sebagai sebuah organisasi massa yang besar, NU dalam pengambilan segala keputusannya memang cenderung sangat hati-hati, selalu dipikirkan akibat, resiko dan maslahatnya. Keputusannya selalu mendasarkan pada teks-teks keagamaan, baik itu dari al-Quran, al-Hadits, al-Qiyas, al-Ijma, Qawaid Ushul Fiqh, Istihsan, dan metodologi-metodologi lainnya. Maka konsep-konsep strategis yang diputuskan NU seyogyanya menjadi panduan dan pegangan kita untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan alur dari madzhabi ke manhaji adalah sebuah landasan konsepsional dan teoritis, dimana madzhab adalah aliran yang di dalamnya memuat seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai, norma-norma, metodologi, dan dalam prakteknya sudah diamalkan oleh seluruh warga NU dengan mengikuti madzhab teologi, madzhab fiqih, dan madzhab tasawuf.
Sementara manhaji adalah sebuah konsep metodologis yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan zaman, dalam hal ini perubahan-perubahan ini tidak sebatas pada persoalan Fiqih-Ushul Fiqihnya saja, tetapi juga harus mampu mengembangkan fiqih-fiqih sektoral, detail seperti fiqih perburuhan, pertambangan, perempuan, fiqih trafficking , fiqih nelayan, fiqih agraris, dan lain-lain.
Tetapi fiqih-fiqih sektoral ini sekali lagi, tidak terlepas dari konteks memperkuat Jamiyyah Nahdlatul Ulama, dan bukan sebaliknya memperkeruh dan memporak-porandakan konsep-konsep fiqhiyyat yang sudah baku, terutama yang sudah diamalkan oleh kalangan pesantren dan kalangan-kalangan ulama NU.
Apa yang telah tersusun dalam madzhab teologi, fiqih dan madzhab tasawuf sudah memuat aturan yang sudah baku, maka yang kita kembangkan dalam hal ini hanya menyangkut persoalan-persoalan fiqih baik itu pada persoalan kaidah ushul fiqih maupun substansi fiqih dengan tetap melandaskan pandangan intinya pada ketentuan yang sudah baku.
Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi umat saat ini membutuhkan penyelesaian dengan cepat dan tepat yang bukan hanya berkutat pada persoalan ubudiyah saja, melainkan pada aspek penataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan.
Bagaimana menyelesaikan sengketa buruh-majikan dalam sebuah kasus perusahaan dalam perspektif fiqih, bagaimana fiqih menyusun konsep-konsep keadilan ekonomi masyarakat kecil yang saat ini dilanda berbagai kesulitan ekonomi karena dihadapkan pada krisis yang berkepanjangan dan pasar yang tidak berpihak, bagaimana penyelesaian para TKW/TKI yang tidak bisa diselesaikan oleh negara, sementara negara dan kalangan pengusaha PJTKI swasta hanya memeras keringat para TKW/TKI tersebut, bagaimana menyelesaikan persoalan trafficking perempuan, anak, dan apa konsep-konsep konkrit menurut fiqih, termasuk bagaimana menyelesaikan kemelut politik dalam tubuh partai politik seperti PKB dan jamiyyah Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) ditantang untuk bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU, secara individual maupun secara organisatoris. Landasan itu adalah paham Ahlussunnah wal Jamaah yang diterapkan menurut kondsi kemasyarakatan Indonesia. Khittah ini juga digali dari sejarah perjuangan NU.
Muatan isi Khittah adalah ; Dasar-dasar paham keagamaan NU, Sikap Kemasyarakatan NU, Perilaku keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, Ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan NU, Fungsi organisasi dan pelayanan kepemimpinan ulama, Hubungan NU dan Kehidupan bernegara.
Nilai-nilai Khittah sendiri sebenarnya menemukan momentumnya saat ini, pertama, adanya kampanye perlawanan terhadap ideologi transnasional yang saat ini sudah merasuk ke dalam sendi-sendi bangsa Indonesia, kedua, adanya krisis kebangsaan yang cukup akut, dimana kesadaran kebangsaannya mulai luntur, Pancasila tidak lagi dijadikan landasan atau falsafah hidup dan bernegara, pelaksanaan otonomi yang berlebihan sehingga hampir-hampir kita tidak hafal lagi berapa jumlah propinsi di Indonesia, berapa jumlah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia, dan berapa jumlah lembaga-lembaga ataupun komisi tinggi negara.
Kaitannya dengan pengamalan Khittah saat ini adalah sudah saatnya Nahdlatul Ulama dan organisasi underbow-nya merumuskan dan menentukan langkah-langkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI dan juga mempertahankan ke-nusantara-an kita yang saat ini sudah terkoyak-koyak dengan adanya berbagai proyek internasionalisasi kasus-kasus yang terjadi di dalam negeri.
Sekali lagi, bahwa Khittah adalah pedoman yang merupakan induk dari konsep-konsep turunannya; Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan berbagai konsep Maslahah ummah yang harus diimplementasikan dan dijadikan rujukan dengan tetap menggunakan asas-asas kepeloporan, kemandirian dan kesinambungan. Artinya, bagaimana dengan Khittah NU mampu menjadi garda depan dalam merespon setiap perkembangan zaman, bukan sebagai kuda tunggangan kekuasaan atau kepentingan kelompok-kelompok lain. Meminjam istilah Ahmad Baso, NU harus menjadi Fail bukan Maful menjadi subyek bukan obyek.
Sementara Konsepsi Dasar Mabadi Khaira ummah adalah sebuah konsep yang berangkat dari kegagalan membangun perekonomian NU, penataan organisasi dan memperkuat pola silaturahmi antara warga NU dan para pimpinan NU.
Pada mulanya, prinsip dasar Mabadi Khaira Ummah hanya mengenal tiga prinsip dasar, yaitu; as-Sidq (kejujuran), al-Amanah wal Wafa bil Ahdi (dapat dipercaya dan teguh memegang janji) dan at-Taawun (gotong royong), tetapi dalam perjalanannya, penjabaran atas konsep ini semakin sistematis dan terumuskan, sehingga terjadi penambahan prinsip menjadi lima prinsip, yaitu: As-Sidq , al-Amanah wal Wafa bil Ahdi, al-Adalah, at-Taawun, dan Istiqomah.
Lima nilai di atas tersebut jika dilaksanakan, maka akan menjadi seorang muslim yang sempurna, dimana seorang muslim yang sempurna adalah yang terdapat kesesuaian antara ucapan, pikiran dan tindakan.
Segala perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berkesinambungan, jangan setengah-setengah, diperlukan adanya totalitas dan kesungguhan, karena itulah kunci dari keberhasilan. Diperlukan sebuah nilai ketulusan, keikhlasan, dan keberanian untuk memulai sesuatu yang diyakini benar dan akan bermanfaat buat diri sendiri dan masyarakat.
Keberadaan Fikrah Nahdliyyah sendiri dilandaskan pada beberapa hal,
Adanya landasan historis mengenai berdirinya Nahdlatul Ulama, bahwa berdirinya NU adalah respon terhadap adanya pertarungan ideologi, antara ideologi Islam tradisional dan Islam modernis,
Banyaknya kejadian-kejadian yang berkembang, dimana banyak kelompok-kelompok atau individu-individu yang mengatasnamakan NU tetapi sikap, pikiran dan tindakannya sudah tidak lagi mencerminkan kepentingan jamiyyah NU. Oleh karena itu Fikrah Nahdliyyah ini adalah semacam panduan yang dinetralisasi dari nilai-nilai ASWAJA NU. Yang dimaksud dengan Fikrah Nahdliyyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah-ummah (perbaikan umat).
Khashaish (ciri-ciri) Fikrah Nahdliyyah adalah:
Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap Tawazun (seimbang) dan Itidal (adil) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath.
Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara berfikir, dan budayanya berbeda.
Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik ( al-ishlah ila ma huwa al-ashlah ).
Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berfikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.
Selain Fikrah Nahdliyah yang sudah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, barangkali penulis juga perlu mengemukakan beberapa pokok-pokok fikiran KH. Achmad Siddiq yang berkaitan dengan Fikrah Nahdliyyah . KH. Achmad Siddiq merumuskan Lima Dalil Perjuangan dan Lima Dalil Hukum, hasil rumusan ini ditujukan untuk;
Mempersamakan alam pikiran di dalam NU dan menciptakan norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan kehidupan,
Menjaga alam pikiran NU dari penetrasi modernisme, westernisme , dan aliran-aliran lain yang merusak kemurnian Islam dan kepribadian NU,
Memelihara dan mengembangkan watak, kepribadian NU dan Khittah NU.
Pokok-pokok pikiran KH. Achmad Siddiq ini muncul pada masa itu, dimana westernisasi , kolonialisasi dan komunisme masih menggejala di berbagai belahan negara muslim di dunia termasuk Indonesia dan khususnya kepentingannya dalam memperkuat jamiyyah Nahdlatul Ulama. Meskipun Fikrah Nahdliyah versi KH. Achmad Siddiq ini belum resmi menjadi keputusan NU, tetapi sebagian rumusannya dipakai oleh kalangan NU bahkan termasuk dalam Fikrah Nahdliyah hasil keputusan Munas NU Surabaya yang menambahkan amar maruf nahi munkar dalam klausulnya.
KH. Achmad Siddiq menyusun Fikrah Nahdliyah berangkat dari sejarah modernisme barat, mencakup watak, arah dan hakikatnya, dengan cara:
Menelaah latar belakang perkembangannya.
Kesejajarannya dengan kepentingan penyebaran agama Kristen.
Watak imperialismenya.
Strategi dan skenario imperialisme barat dalam menghancurkan Islam.
Proyek-proyek imperialisme yang bersifat internasional yang dapat menghancurkan umat Islam dengan cara mendirikan suatu perguruan tinggi dengan nama al-Kulliyyah al-Injliziyyah al-Syarqiyyah al-Muhammadiyah dan membina seorang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad, yang kemudian mendirikan gerakan AHMADIYAH QADIAN.
Imperialisme barat melakukan pembinaan terhadap Orang-orang Islam, salah satunya adalah MUSTHAFA KAMAL AT-TATURK yang berhasil menguasai Turki pada tahun 1924 dan mensekulerkan Turki.
Bahwa modernisme barat selalu berusaha untuk melemahkan jiwa Islam, fanatisme Islam, nilai-nilai ajaran Islam, semangat jihad Islam, harga diri umat Islam, menimbulkan dan mengembangkan mental pemujaan terhadap barat dan segala yang datang dari barat, dengan perkataan lain, gejala-gejala yang lebih berbahaya sekarang ini bagi kita umat Islam Indonesia dan umat Nahdliyyin khususnya ialah Westernisasi-modernisme , terutama di bidang culture (kebudayaan, peny ), civilitation (peradaban, peny ) dan pemikiran, dan Materialisme-Marxisme-Komunisme , di bidang filsafat, politik dan ekonomi.
Pembentengan terhadap umat Islam dan Front Ahlussunnah wal Jamaah khususnya dari bahaya-bahaya ini, haruslah dilakukan dengan pemberian pengertian dan kesadaran seluas-luasnya kepada arah, watak dan hakikat modernisme- westernisme yang jelas ingin melemahkan Islam dan umatnya. Dan pemberian Pedoman Berfikir Positif ala Islam, ala Ahlussunnah wal Jamaah, ala Nahdlatul Ulama ( Fikrah Islamiyah, Fikrah Sunniyah, Fikrah Nahdliyah).
Sikap yang harus diambil oleh kalangan generasi ASWAJA adalah:
MENILAI MASA LALU, berarti:
Mempertahankan nilai-nilai positif, hasil pemikiran atau ijtihad generasi yang lalu (sahabat dan ulama mujtahidin),
Memurnikannya dari pengaruh atau percampuran unsur-unsur khurafat, israiliyyat dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam.
MENGEMBANGKAN MASA KINI, berarti:
Menerima hal-hal baru yang bermanfaat yang tidak bertentangan dengan Islam, serta mengembangkannya ke arah yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam,
Menolak dan mencegah hal-hal baru yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
MERINTIS MASA DEPAN, berarti:
Menciptakan konsepsi dan inisiatif baru di bidang teknik perjuangan yang tidak bertentangan dengan azas dan haluan perjuangan ISLAM ALA MADZHABI AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH,
Mendorong untuk berinisiatif dan berikhtiar untuk mengembangkan dan memenangkan azas dan haluan perjuangan tersebut,
Mengadakan usaha atau langkah preventif untuk menutup atau mempersempit jalan berkembangnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
ASWAJA DARI MANHAJUL FIKR KE MANHAJUL HARAKAH
Untuk mensistematisir dan menyusun secara konsepsional dari fikroh ke harakah maka basis argumentasinya harus melandaskan pada akar-akar historis Nahdlatul Ulama dengan menyusun secara lebih sistematis dan konsepsional gagasan-gagasan baru yang bersifat kritis, dan kontektual, diantaranya adalah; bagaimana upaya menggerakkan Trilogi NU yang pernal muncul dalam sejarah ke-NU-an; Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathon dan Taswirul afkar, menggerakkan wawasan strategis ke-Aswaja-an; tradisi nusantara, Menggerakkan kaum mustadhafin, Menggerakkan pribumisasi Islam dan Menggerakkan semangat kebangsaan
Pertama, bahwa secara historis ASWAJA adalah sebuah proses yang lahir bukan terus menjadi tetapi terus berkembang mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah. ASWAJA secara historis kelahirannya terbagi dalam dua fase; sebagai sebuah ajaran dan pemikiran yang sudah lahir dari masa Rasulullah SAW, hal ini dibuktikan dengan adanya hadits nabi yang menyebut kata Ahlussunnah wal Jamaah sebagai golongan umat yang akan selamat dari 72 golongan yang akan masuk neraka. Tetapi secara pelembagaan, ASWAJA mulai hadir pada masa muculnya perpecahan aliran-aliran ilmu kalam yang berujung pada munculnya perumusan ilmu-ilmu fiqih.
Kedua, ASWAJA dalam lingkup dan tradisi NU menjadi sebuah konsep pelembagaan ASWAJA yang di dalamnya menyangkut rumusan fiqih, akidah, dan rumusan tasawuf. Rumusan-rumusan ini membentuk rumusan pemikiran dan gerakan. Disebut pemikiran, karena NU dengan konsep ASWAJAnya mampu mengembangkan berbagai metodologi hukum-hukum syariah yang sebelumnya tidak ada. Sementara disebut sebagai gerakan, karena ASWAJA selalu menjadi ruh pergerakan para ulama, dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik, gerakan kebudayaan, gerakan keagamaan, gerakan pendidikan dan gerakan keba
Ketiga, dalam perjalanannya, ASWAJA Nahdlatul Ulama menjadi ruh dalam menuangkan gagasan-gagasan strategis, yang kemudian gagasan-gagasan ini juga diakui diakomodir sebagai agenda pembangunan nasional, seperti;
dengan adanya gagasan kembali ke Khittah Nahdliyah 1926, NU berhasil membangun kemandirian organisasi, NU berhasil menjaga stabilitas pembangunan, dan NU berhasil menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam rahmatan lil alamin melalui gerakan Islam damai, dan Islam kebangsaan. Dengan konsep pribumisasi Islam, NU telah menghadirkan dirinya menjadi kekuatan tradisional yang progressif, transformatif, kritis dan konstruktif. Dan pada akhirnya NU menjadi pelopor bagi terbentuknya Islam Indonesia dan menjadikannya sebagai model bagi pengembangan Islam di negara-negara muslim lainnya di dunia,
Dengan adanya gagasan strategis Mabadi Khaira Ummah, telah berimplikasi pada adanya penataan kembali struktur organsiasi NU dari mulai tingkat ranting sampai pengurus besar, membagun kembali pola komunikiasi antara NU dengan warganya dan membangun gerakan ekonomi kerakyatan,
dengan adanya gagasan Fikroh Nahdliyah, NU mensistematisir dirinya menjadi sebuah sistem yang meberikan kerangka metodologis dan solusi-solusi yang konkrit dalam memecahkan kebekuan dan kejumudan umat,
dan dengan adanya gagasan Maslahah Ummah, NU berupaya menegaskan dirinya sebagai organisasi pemberdayaan umat dan perjuangan umat menuju umat yang sejahtera dan pelopor bagi pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman dan bertaqwa.
Keempat, dalam perkembanganya, ASWAJA harus mampu menjadi garda terdepan dalam menggerakkan sendi-sendi kebangsaan. Semuanya demi kemaslahatan, kemajuan bangsa dan kejayaan Islam. Dalam tataran ini ASWAJA harus memiliki kemampuan untuk menyusun wawasan strategis ke-ASWAJA-an yang meliputi; bagaimana tradisi ke-nusantara-an, bagaimana menggerakkan kaum mustadzafin, bagaimana menggerakkan pribumisasi Islam, dan bagaimana menggerakkan solidaritas kebangsaan.
Kelima, ASWAJA dituntut kemampuannya untuk merumuskan strategi-strategi konkrit, realistis dan visioner, dimana dalam hal ini ASWAJA dapat menjadi panduan, pedoman dan pandangan masyarakat umum, seperti halnya Madilognya Tan Malaka yang mampu menyusun gerakan nasionalisme-kiri atau Das Kapitalnya Karl Marx yang mampu menyusun pedoman gerakan komunis.
ASWAJA DALAM PRAKSIS GERAKAN
Bagaimanakah membumikan ASWAJA dalam praksis gerakan?. Pertanyaan ini menjadi penting untuk di jawab, agar ASWAJA selalu menjadi landasan dan pedoman dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab awal, bukan hanya sebagai konsep teologi, melainkan juga sebagai konsep berpikir dan bergerak. Oleh karena itu, harus ada hubungan sinergis antara ajaran, landasan, sikap, pola pikiran dan tindakan sehingga manjadi satu kesatuan yang integral sebagai wujud dari pembuman ASWAJA. Dalam membumikan ASWAJA, terdapat enam (6) pola pengembangan; landasan keagamaan, konsepsi dasar, orientasi, pola ukhuwah, penduan berpikir, dan panduan bergerak
Landasan keagamaan
Berpedoman pada al-Quran, al-Hadits, Ijma dan Qiyas
Memantapkan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Mengembangkan kontektualisasi dan aktualisasi fiqh
Menggerakkan fungsi-fungsi ushul fiqh
Konsepsi dasar
Apresiasi terhadap tradisi-tradisi lokal
Menggelorakan semangat kebangsaan
Orientasi
Melakukan penilaian-penilaian masa lalu
Mempertahankan nilai-nilai positif masa lalu dan memurnikannya dari pengaruh dan pencampuran unsur-unsur khurafat, israiliyyat, dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam
Mengembangkan masa kini
Menerima hal-hal baru yang bermanfaat dan sesuai dengan islam dan mengembangkannya sesuai dengan Islam dan menolak hal-hal baru yang tidak sesuai dengan islam atau membahayakan Islam
Merintis masa depan
Menciptakan konsepsi-konsepsi baru yang sesuai Islam, mendorong inisiatif-inisiatif dan ikhtiar dan mengembangkan azas dan haluan perjuangan tersebut, mengadakan usaha dan langkah preventif terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Islam
Pola Ukhuwah
Mengembangkan pola ukhuwah Islamiyah (ke-Islama-an)
Mengembangkan pola ukhuwah Basyariyah (ke-manusia-an)
Mengembangkan pola ukhuwah wathoniyah (ke-bangsa-an)
Mengembangkan pola ukhuwah nahdliyah (ke-NU-an)
Panduan Berpikir
Mengembangkan pola pikir Tawassuthiyah (pola pikir moderat dengan tetap mengedepankan keseimbangan dan keadilan)
Mengembangkan pola pikir Tasamuhiyah (pola pikir toleran)
Mengembangkan pola pikir Ishlahiyah (pola pikir reformatif)
Mengembangkan pola pikir Tathowwuriyah (pola pikir dinamis)
Mengembangkan pola pikir manhajiyyah (pola pikir metodologis)
Panduan bergerak
Mengembangkan aspek-aspek Maslahah
Melakukan advokasi kebijakan, meminimalisir bahaya, menghindari kerusakan, melakukan gerakan preventif, menjadi kader pelopor, mewujudkan multi effect maslahat
Melakukan pembelaan terhadap kaum Mustadhafin
Melakukan pembelaan terhadap kelompok/ perorangan yang dilemahkan dan ditindas secara struktur sosial-budaya, ekonomi dan politik serta memberdayakan, memperkuat dan mengembangkan sepuluh kelompok; faqir, miskin, amil, muallaf qulubuhum, riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil, sail dan mahrum, dan yatim.
STRATEGI PENGEMBANGAN PMII
PENGERTIAN
Strategi Pembinaan dan pengembangan PMII merupakan garis-garis besar pembinaan dan pengembangan adalah pola dasar dan umum program jangka panjang dan jangka pendek dalam mewujudkan tujuan organisasi supaya langkah PMII menjadi terarah, terpadu dan sustainable (berkelanjutan) setiap kebijakan, program dan garis perjuangannya.
Rangkaian strategi dan program yang terus menerus tersebut dimaksud untuk mewujudkan tujuan PMII seperti termaktub dalam Anggaran Dasar Bab IV Pasal 4 yaitu : Terbentuknya pribadi muslim Indonesia berilmu yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, Berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”.
Pembinaan dan pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun informal yang dilaksanakan secara sadar, terencana, terarah, terpadu, etratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangkan suatu kepribadian yang seimbang dan utuh, baik jasmaniah maupun rohaniah.
LANDASAN
Landasan pembinan dan pengembangan PMII disusun berlandaskan:
Landasan Ideal :
Islam Ahlussunnah wal Jamaah
Pancasila dan UUD 1945
Nilai-nilai Dasar Pergeraan (NDP)
Keputusan Kongres PMII
Struktural:
Anggaran Dasar Pasal 5 tentang Usaha PMII:
Menghimpun dan membina mahasiswa Islam sesuai dengan asas dan tujuan PMII serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.Melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang sesuai dengan asas, dan tujuan PMII serta upaya perwujudan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Anggaran Rumah Tangga PMII
Landasan Historis:
Produk dan Dokumen Historis Organisasi.
Azaz: Ketaqwaan, Keseluruhan, Manfaat, Kemasyarakatan, keploporan, independent, kemahasiswaan : Bahwa PMII sebagai organisasi kemahasiswaan haruslah berorientasi pada nilai-nilai obyektif, kritis, analitis dan bertanggung jawab serta antisipatif terhadap masa depan masyarakat bangsa & Negara
MODAL DASAR DAN DOMINAN
PMII Sebagai organisasi Kemasyarakatan
Ideologi PMII NDP
Jumlah Kader dan Alumni PMII yang tersebar diseluruh Indonesia
Tipologi Kader PMII:
Pertama, intelektual baik akademik (scholar) maupun organik (analis/praktisi). Kedua, gerakan massa (student movement).
Ketiga, advokasi sosial baik yang intens dengan pendampingan sosial, maupun advokasi wacana.
Keempat, politisi baik keterlibatan dalam panggung konstalasi politik, maupun persinggungan dengan dunia politisi.
Kelima, kecenderungan profesional dan enterpreneur.
Komunitas Islam Ahlussunnah Waljamaah sebagai kelompok masyarakat terbesar Indonesia
STRATEGI PENGEMBANGAN KADER
Iklim yang mampu menciptakan suasana yang sehat, dinamis dan kompetitif yang selalu dibimbing dengan bingkai taqwa, inteleqtuallitas dan profesionalitas sehingga mampu meningkatkabn kualitas pemikiran dan prestasi, terbangunnya suasana kekeluargaan dalam menjalankan tugas suci keorganisasian, kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kepemimpinan harus difahami sebgai amanat Allah yang menempatkan setiap insan PMII sebagai DaI untuk melakukan amar makruf nahi munkar. Sehingga kepemimpinannya selalu tercermin sikap bertanggungjawab melayani, berani, jujur, adil dan ikhlas; serta didalam menjalankan kepemimpinannya selalu penuh dengan kedalaman rasa cinta, arif bijaksana, terbuka dan demokratis.
Untuk mewujudkan suasana taqwa, intelektualitas dan profesionalitas serta kepemimpinan sebagai amanat Allah SWT diperlukan suatu gerakan dan mekanisme organisasi yang bertumpu pada kekuatan dzikir dan fikir dalam setiap tata pikir, tata sikap dan tata perilaku bsik secara indivudu maupun organasatoris.
Struktur dan aparat organisasi yang tertata dengan baik sehingga dapat mewujudkan sistem dan mekanisme organisasi yang efektif dan efesien, mamp mewadahi dinakima intern organisasi serta mampu merespon dinamika dan perubahan ekternal.
Produk dan peraturan-peraturan organisasi yagn konsisten dan tegas menjadi panduan konsitutif , sehingga tercipta auatu mekanisme organisasi yang teratur dan mempunyai kepastian hukum dari tingkat pengurus besar sampai tingkat rayon.
Pola komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi individual dan kelembagan, yaitu terciptanya komunikasi timbal balik dan berdulat serta mampu membedakan antara hubungan individual dan hubungan kelembagan; baik kedalam maupun keluar.
Pola kaderisasi yang dikembangkan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman kini dan mendatang
PENGEMBANGAN PMII
PENDAHULUAN
PMII adalah organisasi yang bertujuan pada terbentuknya pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya serta komitmen atas perwujudan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Senafas dengan tujuannya tersebut PMII dituntuit untuk membuktikan bahwa arah gerakannya memanifestasikan cita-cita yang dituju. Sebagai organisasi yang etos pergerakannya bersandar opada aspek kemahasiswaan, keislaman dan keindonesiaan, maka pengejawantahan gerakan PMII juga mencirikan ketiga aspek diatas. Aspek kemahasiswaan harus diselaraskan dengan tipologi mahasiswa sebagai agent of social change . Dimana mahasiswa mempunyai kekuatan intwelektual untuk mendobrak bentuk-bentuk kemapaman yang menghalangi kemajuan dan secara intens menembus kebekuan realitas menuju dinamika yang mengarah pada pemecahan masalah-masalah sosial.
Pada aspek keislman, PMII meyakini bahwa kehadiran atau eksistensinya adalah untuk mewujudkan peran khalifatullah fi al-ardl, meneruskan risalah kenabian untuk merahmati alam. Islam seharusnya selalu menjadi cahaya (nur) bagi ummatnya di setiap waktu dan di setiap zaman. Oleh karena itu wacana keislaman yang dipahami oleh PMII harus mampu melakukan tafsir terhadap dirinya agar relevansi dan kontekstualisasinya aktual dengan perkembangan zaman. Sementara aspek kebangsaan PMII harus dibuktikan dengan antusiasme aktif terhadap nilai kebangsaan yang ditunjukkan oleh sikap penghargaan atas pluralitas dan inklusivitas serta menghindari ekslusivitas dan sektarian.
Ketiga aspek di atas harus terintegrasi dalam satu perspektif yang saling menopang satu dengan lainnya. Oleh karena itu dialektika aktif di dalam kehidupan masyarakat harus ditunjukkan dengan sikap penghargaan, solidaritas, persamaan, kesetaraan, dan anti diskriminasi yang dilandasi suatu kesadaran yang utuh, bukan sebaliknya. Dialektika ini juga hatus mengatasi problema yang tumbuh dan berkembang di masyarakat baik menyangkut aspek politik, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan dan agama.
POTRET PMII
Anggota PMII pada umumnya berasal dari desa dengan penghasilan pokok sektor agraris yang berbasis pendidikan disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial dan sebagian kecil yang berbasis ilmu-ilmu eksakta. Karakter geografis, demografis, sosiologis, membawa implikasi pada sifat dan perilaku komunal baik menyangkut teologi, tradisi dan budayanya. Kesadarn komunal dan pengharagaan terhadap perbedaan menjadi corak keagamaan dalam masyarakat agraris. Penghargaan terhadap lokalitas tradisional yang menjunjung tinggi pluarlitas dan keseimbangan realsi antar iman menjadi kesadaran spiritualitas. Pemahaman teologis dinaungi oleh doktrin Aswaja yang dikonstruksi sebagai manhaj al-fikr. Realitas nilai dan norma tradisionalis keberagamaan yang telah terbangun dalam lingkungan keluarga, dan masyarakat (terutama pesantren) memiliki korelasi positif terhadap paham keagamaan dan membentuk karakter keberagamaan kader. Latar keberagamaan para kader PMII sarat dengan pemahaman teologi Asyariyah yang mengedepankan keseimbangan, solidaritas, dan ketenangan dalam perilaku dan karakternya dalam pengejawantahan hidup bermasyarakat. Doktrin teologi yang dibangun memberikan makna keagamaan yang sedikit beku karena nafas keberagamaan cenderung mengarah pada dogmatisme tradisi dan ajaran, sehingga agama bagai relevan dalam ritualitas tetapi kurang memungkinkan dalam menjawab realitas kehidupan.
Karakter keberagamaan kader PMII ini satu sisi memberikan pengkayaan karena khazanah keagamaan bisa dijadikan modal untuk mengilhami suatu perubahan menuju peradaban. Tetapi khazanah yang dimungkinkan bisa mengarah kepada penciptaan peradaban adalah khazanah yang niscaya untuk memberikan pemecahan aspek kemanusiaan, teknologi, kebudayaan dan spiritualitas. Di sisi lain, kenyataan ini menjadi masalah karena kekayaan khazanah ini tidak memberikan sesuatu maistream perubahan. Mungkin karena masih terjadi kontradiksi antara frame lama yang dogmatis dan frame baru yang secara sistematis belum bisa menjadi sandaran perjuangan secara utuh. Padahal tantangan yang dihadapi adalah karakter modernitas yakni adanya penafian sisi kemanusiaan dan spiritualitas dan hanya mendasarkan pada kehidupan fisik dan material.
Oleh karena itu PMII harus melakukan rekonstruksi -malah kalau bisa dekonstruksi- pemahaman terhadap tafsir keagamaan agar lebih hidup sebagai upaya menggagas kehidupan yang lebih bermakna dan tidak hanya ritual tetapi juga sosial. Tauhid tidak hanya ada dalam diri tanpa mampu terrefleksikan dalam kehidupan, tetapi sebaliknya tauhid adalah pemberian jawaban terhadap realitas yang ada. Oleh karena itu teologi yang mengarah kepada aspek teosentris (Tuhan sebagai pusat kajian) harus dibalik dengan mengarahkan poada teologi antroposentris (aspek kemanusiaan sebagai pusat orientasi). Konsepsi teologi antroposentris sebagai teologi yang dapat ditrasformasikan dalam kerangka empirik-praksis merupakan antitesa terhadap teologi teosentris. Dengan demikian pemahaman terhadap nalar keagamaan manusia harus didekonstruksi menjadi teologi transformatif. Pemikiran teologis yang dikonstruksi sebagai tata nilai yang mapan dianggap telah menafikan dinamisasi pergulatan nalar keberagamaan manusia yang bersifat dinamis dan interpretable . Perubahan yang menjadi sifat asasi manusia mengilhami nalar kader dalam mengapresiasikan pemikiran teologisnya sehingga kader akan selalu menggeliat dengan kemapanan karena berimplikasi pada stagnasi pemikiran yang menciptakan alienasi manusia terhadap realitasnya.
Nalar teologis yang hidup ini belum mampu menjadi cahaya yang mengarahkan pada satu titik sendi perjuangan. Pola gerakan PMII masih carut marut dalam kesendirian yang masing-masing belum terkomunikasikan menjadi gerakan yang padu. PMII adalah organisasi kader yang mengarahkan kepada pembentukan kader yang mampu beradaptasi dengan seluruh lingkungan yang ada. Keberpihakan terhadap nilai-nilai harus disandarkan pada realitas kebutuhan anggota dan realitas kebutuhan masyarakat. Komitmen ini harus selalu dikawal sebagai manifestasi pemberdayaan individu (warga) di satu sisi dan disisi lain upaya membangun masyarakat. Dari sinilah kemudian bisa dilihat pembinaan kader yang intens menuju standar kualitas yang mampu berkompetisi dengan realitas sejati yang ada di masyarakat bisa terwujud.
Konsentrasi pemberdayaan ini juga harus dilihat dari sisi alumni PMII. Realitas alumni PMII adalah proses timbal balik dari realitas PMII. Proses aktualisasi alumni PMII tidak bisa optimal dalam kancah kompetisi kehidupan publik. Ranah publik yang mestinya mampu dimasuki PMII tidak seluruhnya bisa digapai dikarenakan adanya marginalisasi oleh sistem yang refresif. Sistem politik tidak memberikan ruang yang leluasa untuk menggerakkan potensi kader PMII mengapresiasikan apa yang dimilikinya. Banyak warga PMII dsn alumni PMII kesulitan menempatkan diri dalam posisi strategis, baik tataran birokrasi, partai politik, profesional, LSM, dan lain-lain. Hal ini akibat frame Orde Baru yang hanya memberikan ruang dan kesempatan kepada kelompok modernis denganh mengesampingkan kelompok lain untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
Jatuhnya rejim Orde Baru memberikan secercah harapan bagi PMII untuk memposisikan diri dalam ranah kehidupan publik. Kesempatan ini harus ditopang dengan pemberdayaan dan pengkayaan warga PMII agar berkualitas, sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan yang sudah terbuka dan menggeser realitas kehidupannya yang pinggiran.
PENGEMBANGAN KADER
Pengembangan dan penguatan kader harus didasarkan pada filosofi leberasi sebagai sentral mengarahkan kepada pencerahan. Pola tata pikir dogmatis menjadi tata pikir dogmatis menjadi tata pikir transformatis. Tata pikir dogmatis cenderung mengarah pola sikap yang setatis sedangkan tata pikir transformatif mengarah kepada pola sikap yang dinamis. Sehingga nantinya mampu mewujudkan sosok pribadi yang memiliki kualitas taqwa, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab. Pengedepanan pengembangan kader harus ditunjang dengan pola kaderisasi yang kondusif dan tersistem dengan memperhatikan tingkat objektif kebutuhan kader. Penguatan harus dimulai dari proses rekrutmen yang didasarkan tidak hanya pada keinginan untuk menambah kuantitas kader, tetapi lebih terfokus pada pemberdayaan yang mengarah pada kualitas kader.
Orientasi penguatan kader harus diselaraskan dengan realitas sosial yang terus berkembang agar potensi pengetahuan dan skil yang dimiliknya mampu dimanfaatkan da;lam kebutuhan sosial. Proses individuasi harus lebih ditekankan dengan memberikan ruang yang lebih luas kepada kader agar mampu mengapresiasikan potensi yang dimiliknya. Apresiasi bisa dibangun dengan membangun iklim oraganisasi yang kondusif dan ditopang kekuatan jaringan. Proses ini bisa dilakukan dengan menjembatani setiap kebutuhan kader sesuai dengan pilihan hidup yang diinginkan. Oleh karena itu PMII harus menjadi kawah candradimuka kader PMII untuk membangun eksistensi dirinya menuju kader kualitatif seperti yang diharapkan.
PENGEMBANGAN PERJUANGAN
Tanggung jawab PMII terhadap kadernya adalah konsekwensi yang harus ditanggung untuk memberikan penguatan kader. Sudah semestinya PMII menjadi alat untuk kader-kadernya menembus jenjang masa depan sesuai dengan kebutuhan pilihan hidup kader. Oleh karena itu identitas PMII harus dikenal secara utuh, baik itu namanya karakternya, keberpihakannya, ataupun tradisi yang dikembangkannya. Kualitas PMII harus dikedepankan agar masyarakat mempunyai suatu keyakinan bahwa PMII adalah organisasi yang bisa diharapkan baik dari sisi intelektualitasny, komitmen sosialnya, maupun profesionalitasnya.
Aktualisasi PMII harus selaras dengan perubahan sehingga keberadaannya tetap dinamis dan relevan. Aktualisasi yang kemudian mampu mempengaruhi mainstream sosial harsu diperjuangkan dengan sosialisasi secara terus menerus memperkenalkan identitas dirinya. Sosialisasi ini penting dalam rangka mencipta citra positif PMII di kalangan masyarakat luas, tetapi juga berarti perwujudan dari keberadaannya sebagai alat perjuangan. Ini juga penting sebagai upaya menggalang kebersamaan dan menyusun kekuatan untuk menggapai tujuan yang diinginkan. Segmen perjuangan PMII harus digalang pada tiga hal.
Pertama, level atas, negara (pemerintah) sebagai penentu kebijakan.
Kedua, level tengah organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, serta kekuatan strategis lainnya.
Ketiga, di tingkat bawahmasyarakat umum dan kaum dhuafa sebagai keberpihakan basis gerakan.
Oleh karena itu PMII harus apresiatif dan akomodatif terhadap realitas sosial yang diarahkan pada pembentukan jaringan ke segala arah, agar eksistensi nilai-nilai yang dikembangkan di PMII mampu tertransformasikan dalam seluruh segmen yang ada. Hal ini dilakukan agar paham pluralitas dan inklusivitas terserap dalam ranah kehidupan kebangsaan dan keislaman yang menjadi tujuan organisasi PMII. Berbagai bentuk strategi bisa digunakan asalkan strategi tersebut tetap berporos kepada prinsip-prinsip dasar dan agenda perjuangan PMII. Prinsip dasar ini merupakan peneguhan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat sispil, pencerahan dengan melakukan pembebasan, dan mendorong percepatan proses demokratisasi.
Sasaran yang digunakan adalah dengan menempatkan posisi PMII sebagai kekuatan moral dan kekuatan penekan yang mampu mempengaruhi jalannya perubahan. Hal ini harus intens dilakukan dan diperjuangkan untuk mempengaruhi pendapat publik (public opinion), ataupun dengan cara-cara yang lain yang dianggap efektif. Untuk itu ada tiga aspek penting untuk mengedepankan pengembangan perjuangan lebih bermakna dan terarah.
Penguatan Ideologi Gerakan
PMII selama ini mendasarkan dan menyandarkan pada ideologi dan wacana kritis sebagai upaya pembacaan terhadap realitas sosial dan keberpihakan kepada masyarakat lemah, terpinggirkan, dan perjuangan terhadap nilai-nilai universal (keadilan, persamaan, kesetaraan, solidaritas, pluralisme dan lainnya).
Penguatan ideologi harus ditekankan agar gerakan PMII mempunyai kekuatan yang terarah dan konsisten. Penguatan ideologi harus bersifat membantu dan mengarahkan nilai perjuangan, bukan sebaliknya. Fungsi ideologi tidak hanya membantu dan mengarahkan, tetapi kadang juga menjadi perintang. Ide ideologi sebagai perintang gerakan disebabkan ide yang dijadikan pedoman telah menjadi sistem yang menghasilkan perilaku yang mempertahankan tatanan yang ada.
Ideologi mempunyai kekuatan merintangi apabila ia telah menjadi kekuatan yang mengendalikan tata pikir, tata bicara, dan tata tindak dari setiap anggotanya. Dengan demikian ideologi mengabsahkan kemapanan bukan sebaliknya mengarahkan kepada perubahan. Ideologi membantu arah gerakan ketika ia membenarkan arah baru, baik dengan mengacaukan tatanan lama maupun dengan mengkampanyekan dan dan mensahkan tatanan yang baru muncul. Oleh karena itu ideologi harus mengarahkan perilaku menuju perubahan. Dalam hal ini, ideologi menjadi mekanisme pemersatu, harus berfungsi untuk meredakan konflik yang terjadi di masyarakat.
Ideologi harus mampu memotivisir individu agar terlibat dalam proses perubahan. Tetapi memang seringkali ideologi tidak selaras dengan realitas sosial sehingga menggerakkan orang untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu ideologi harus menjadi pengarah untuk meretas perubahan sesuai bayangan masa depan. Dengan adanya penguatan ideologi PMII akan membuat gerakan PMII lebih bermakna. Pencarian dan penguatan terus menerus sebagaimana yang menjadi watak PMII sebagai organisasi kader dan massa harus dilakukan sepanjang zaman, sesuai dengan tuntutan zaman agar ideologi yang dibangun tidak menghalangi gerakan PMII itu sendiri.
Desentralisasi Gerakan
Desentralisasi sebagai komponen penting dalam gerakan sosial pemberdayaan masyarakat mempunyai arti strategis karena akan membuka peluang yang lebar kepada masyarakat dalam perumusan dan pemantauan kebijakan pemerintah atau organisasi. Suatu gerakan sosial organisasi massa yang terdesentralisasi akan semakin besar potensi pemberdayaan warga anggota organisasi. Organisasi PMII level Koordinator Cabang, Cabang, Komisariat, dan Rayon mempunyai kekuatan dan fungsi strategis dalam pemberdayaan masyarakat. Ada dua fungsi desentralisasi gerakan.
Pertama , agar sesuai dengan kepentingan lokal, yaitu gerakan sosial harus disesuaikan dengan masalah dan potensi daerah, dan harus melibatkan keterlibatan anggota dalam keputusan organisasi. Dari sinilah struktur organisasi di daerah berfungsi sebagai institusi desentralisasi gerakan sosial, terutama dalam wacana politik, dan sosial kemasyarakatan. Semakin terdorongnya desentralisasi gerakan sosial PMII akan mendorong political equality (kesempatan yang sama dalam pengambilan keputusan), accountability (meningkatkan tanggung jawab), responsiveness (peningkatan pelayanan sosial organisasi).
Kedua , fungsi pengadministrasian, yaitu mengurangi kemacetan organisasi di pusat dan meningkatkan pengadministrasian wewenang gerakan sosial pusat di daerah. Untuk itu gerakan harus dibangun dengan kekuatan yang platformnya dipahami secara bersama. Pertama , dalam gugus ideal gerakan PMII diikat dengan pemikiran dan kesadaran bersama sebagai upaya menyederhanakan konflik yang ada dalam internal organisasi maupun masyarakat luas. Dari pemikiran bersama ini akan memunculkan paradigma dan ideologi gerakan untuk membentuk tingkah laku bersama. Kedua , gerakan sosial butuh kampanye untuk mensosialisasikan ide dan kesadaran sosialnya. Oleh karena itu kampanye sebagai strategi harus dilakukan untuk meraih dukungan, baik melalui komunikasi massa, negosiasi, maupun mobilisasi.
Menghargai Kompetisi dan Konflik
Kompetisi adalah pendorong organisasi agar dinamis, memaksa oraganisasi meningkatkan laju perubahan program dan tingkat keterampilannya. Kompetisi juga merupakan faktor yang menimbulkan kreatifitas dan inovasi.
Harapan masa depan yang dirumuskan bersama akan selalu menunggu kader-kader yang kreatif. Oleh karena itu organisasi PMII harus digerakkan dengan kreativitas dan inovasi di berbagai bidang.
Konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Organisasi yang efektif dan berhasil akan mengalami persoalan integrasi yang paling gawat dan derajat konflik yang paling tinggi. Organisasi yang efektif harus mempunyai mekanisme formal dalam menyelesaikan konflik yang berperan sebagai pemersatu. Mekanisme ini bukan berarti mengurangi konflik tetapi hanya dapat menyelesaikan apabila itu terjadi. Konflik berperan penting dalam mensukseskan gerakan sosial. Berlawanan dengan apa yang mungkin dipikirkan orang, konflik internal dalam gerakan sosial akan berdampak positif untuk mencapai tujuan gerakan bersama. Konflik internal akan fungsional bila tujuannya adalah mempercepat gerakan dan peruahan sosial masyarakat.
Pemanfaatan Teknologi Informasi
Untuk mencapai masyarakat komunikatif yang diangan-angankan dalam sebuah masyarakat sipil, peran teknologi teritama teknologi informasi sangat besar artinya. Teknologi menciptakan beberapa alternatif pilihan gerakan. Teknologi baru akan membawa cita-cita yang sebelumnya tidak dapat dicapai ke alam kemungkinan dan dapat mengubah kesulitan relatif atau memudahkan menyadari nilai-nilai yang berbeda. Dengan adanya inovasi teknologi masyarakat mempunyai banyak alternatif, dan jika ia memilih alternatif baru, maka ia memulai perubahan besar di berbagai bidang.
Teknologi informasi akan mengubah pola interaksi antar manusia. Setelah teknologi baru diterima akan terjadi pergeseran pola interaksi sebagaimana pergeseran yang dituntut oleh teknologi itu sendiri. Pemanfaatan teknologi informasi akan membantu menciptakan tatanan gerakan sosial yang baru yang sebelumnya tidak ada atau tidak terpecahkan. Teknologi informasi berkait erat dengan industri informasi yang menopang terjadinya perubahan besar dalam struktur sosial. Perjuangan mengakses informasi merupakan keharusan untuk membangun ide perubahan dan sebagai alat perjuangan menuju cita-cita yang dinginkan. Dengan mengakses informasi sekaligus memiliki daya dukung material teknologinya, PMIIakan hadir sebagai organisasi transnasional, menembus batas-batas yang sebelumnya tidak bisa ditembus.
PENGELOLAAN OPINI DAN GERAKAN MASSA
PENGERTIAN
Opini Publik
Seperti ilmu sosial lainnya, definisi opini (pendapat) sulit untuk dirumuskan secara lengkap dan utuh. Ada berbagai definisi yang muncul, tergantung dari sisi mana kita melihat. Ilmu komunikasi mendefinisikan opini sebagai pertukaran informasi yang membentuk sikap, menentukan isu dalam masyarakat dan dinyatakan secara terbuka.
Ilmu psikologi mendefinisikan opini publik sebagai hasil dari sikap sekumpulan orang yang memperlihatkan reaksi yang sama terhadap rangsangan yang sama dari luar (Leonard W. Doob).
Opini publik memiliki karakteristik sebagai berikut:
Dibuat berdasarkan fakta, bukan kata-kata.
Dapat merupakan reaksi terhadap masalah tertentu, dan reaksi itu diungkapkan.
Masalah tersebut disepakati untuk dipecahkan.
Dapat dikombinasikan dengan kepentingan pribadi.
Yang menjadi opini publik hanya pendapat dari mayoritas anggota masyarakat.
Opini publik membuka kemungkinan adanya tanggapan.
Partisipasi anggota masyarakat sebatas kepentingan mereka, terutama yang terancam.
Memungkinkan adanya kontra-opini.
Proses pembentukan opini publik
Proses pembentukan opini publik melalui beberapa tahapan:
Ada masalah yang perlu dipecahkan sehingga orang mencari alternatif pemecahan.
Munculnya beberapa alternatif memungkinkan terjadinya diskusi untuk memilih alternatif.
Kesadaran kelompok.
Program yang memerlukan dukungan yang lebih luas.
Erikson, Lutberg dan Tedin mengemukakan ada empat tahap terbentuknya opini publik:
Munculnya isu yang dirasakan sangat relevan bagi kehidupan orang banyak.
Isu tersebut relatif baru sehingga memunculkan kekaburan standar penilaian atau standar ganda.
Ada opinion leaders (tokoh pembentuk opini) yang juga tertarik dengan isu tersebut, seperti politisi atau akademisi.
Mendapat perhatian Pers/ media hingga informasi dan reaksi terhadap isu tersebut diketahui khalayak.
Opini publik sudah terbentuk jika pendapat yang semula dipertentangkan sudah tidak lagi dipersoalkan. Dalam hal ini tidak berarti bahwa opini publik tersebut merupakan hasil kesepakatan mutlak suara mayoritas setuju, karena kepada para anggota diskuis memang sama sekali tidak dimintakan pernyataan setuju. Opini publik terbentuk jika dala diskusi tidak ada lagi yang menentang pendapat akhir karena sudah berhasil diyakinkan atau meungkin karena argumentasi untuk menolak sudah habis.
Berdasarkan terbentuknya opini publik, kita mengenal opini publik yang murni. Opini publik murni adalah opini publik yang lahir dari reaksi masyarakat atas suatu masalah (isu). Sedangkan opini publik yang tidak murni dapat berupa:
Manipulated Public Opinion, yaitu opini publik yang dimanipulasikan atau dipermainkan dengan cerdik.
Planned Public Opinion, yaitu opini publik yang direncanakan.
Intended Public Opinion, yaitu opini publik yang dikehendaki.
Programmed Public Opinion, yaitu opini publik yang diprogramkan.
Desired Public Opinion, yaitu opini publik yang diinginkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi opini publik
Opini publik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
Pendidikan
Pendidikan, baik formal maupun non formal, banyak mempengaruhi dan membentuk persepsi seseorang. Orang berpendidikan cukup, memiliki sikap yang lebih mandiri ketimbang kelompok yang kurang berpendidikan. Yang terakhir cenderung mengikut.
Kondisi Sosial
Masyarakat yang terdiri dari kelompok tertutup akan memiliki pendapat yang lebih sempit daripada kelompok masyarakat terbuka. Dalam masyarakat tertutup, komunikasi dengan luar sulit dilakukan.
Kondisi Ekonomi
Masyarakat yang kebutuhan minimumnya terpenuhi dan masalah survive bukan lagi merupakan bahaya yang mengancam, adalah masyarakat yang tenang dan demokratis.
Ideologi
Ideologi adalah hasil kristalisasi nilai yang ada dalam masyarakat, ia merupakan pemikiran khas suatu kelompok. Karena titik tolaknya adalah kepentingan ego, maka ideologi cenderung mengarah pada egoisme atau kelompokisme.
Organisasi
Dalam organisasi, orang berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai ragam kepentingan. Dalam organisasi, orang dapat menyalurkan pendapat dan keinginannya. Karena dalam kelompok ini orang cenderung bersedia menyamakan pendapatnya, maka pendapat umum mudah terbentuk.
Media Massa
Persepsi masyarakat dapat dibentuk oleh media massa. Media massa dapat membentuk pendapat umum dengan cara pemberitaan yang sensasional dan berkesinambungan.
MENGELOLA OPINI UNTUK MENGGERAKKAN MASSA
Mengelola Opini untuk Menggerakkan Massa merupakan skill yang mesti dimiliki orang sebagai sebuah ketrampilan memimpin. Generasi muda sebagai agen sekaligus mandataris perubahan dimasa depan harus cakap dalam mengorganisir ide perubahan sebelum dilempar kepada masyarakat. Untuk itu, mahasiswa berpotensi menjadi opinion maker dalam menyuarakan perubahan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali kita terlibat dalam penggalangan dukungan untuk mencapai tujuan, mulai dari hal yang sederhana sampai masalah yang lebih besar dan strategis. Misalnya, dengan alasan agar cepat sampai sekolah kita berusaha meyakinkan orang tua agar mau dibelikan sepeda motor, mulai dari untung dan ruginya memiliki sepeda coba kita utarakan dengan orang tua. Nah, segala usaha dan upaya meyakinkan kedua orang tua itu bisa dikatakan gerakan mengelola opini anggota keluarga agar tujuan untuk memiliki sepeda motor terpenuhi. Jadi menurut saya, pengertian pengelolaan opini bukan sebatas membuat opini lalu dikirim ke media massa, tapi penggalangan massa demi mencapai tujuan tertentu. Sedangkan cara dan bentuknya bisa bermacam-macam.
Pengelolaan opini sebagai sebuah gerakan setidaknya ada tiga agenda yang mesti kita kerjakan terlebih dahulu. Ketiga agenda itu bisa dijadikan acuan tergantung tingkat kesulitan gerakan yang dibangun;
Tentukan tujuan gerak.
Sebelum melontarkan ide atau opini kepada publik secara luas, terlebih dahulu tujuan gerakan harus ditetapkan secara tepat. Disini misi gerakan harus menjadi Panglima yang akan menjadi petunjuk arah. Namun pengalaman selama ini kenapa gerakan massa Layu ditengah jalan? Persoalannya penggerak opini terbuai dengan imbalan-imbalan pragmatis yang ditemui ditengah jalan. Akibatnya, ia lupa akan tujuan gerakan.
Pegang data dan fakta.
Bagi seorang organizer, data adalah senjata yang paling ampuh. Dengan data dan fakta yang lengkap serta akurat kelompok target gerakan akan sulit membantah kebenaran yang kita sampaikan. Apa lagi itu bentuknya penyelewengan atau manipulasi. Inilah yang banyak dilakukan oleh banyak aktivis dalam menjalankan programnya.
Gali masalah.
Berbekal data yang akurat dengan sedikit analisa saja kita sudah mengetahui pangkal masalahnya, kemudian dampaknya seperti apa. Bisa menimpa siapa saja dan lain seterusnya. Kalau sudah akar masalah dan dampaknya tergali, baru tawarkan solusi penyelesaian dari problem sosial yang terjadi. Analisa yang cerdas akan menghasilkan jawaban yang cerdas pula.
Dalam mengelola opini menjadi sebuah gerakan, kita bisa belajar dari kesuksesan aktivis gerakan pada era 66, 74 maupun reformasi 98. Kita bisa lihat berbagai wacana yang disampaikan itu ternyata selalu disuarakan ketika momentum datang. Selain bekerja dengan rencana, mereka juga tidak pernah melewatkan momentum dalam menyuarakan perubahan. Hasilnya mereka terlatih membaca momentum.
Yang tidak kalah penting ketika mengelola opini menjadi gerakan adalah berkongsi dengan media massa. Demi misi gerakan, konspirasi dengan media perlu dibangun. Bukan media membutuhkan berita yang berasal dari masyarakat. Jika yang disampaikan itu benar dan menyangkut kepentingan publik luas maka tidak ada alasan bagi media untuk memberitakan apa yang ingin kita suarakan.
Pada dasarnya semua media membutuhkan orang yang peduli dengan masyarakat. Untuk membangun konspirasi dengan media, bisa dengan mengadakan jumpa pers, seminar, lokakarya, demonstrasi atau menulis opini dan artikel dimedia massa. Cara-cara ini malah sangat efektif mengundang media agar mau memberitakan gerakan yang akan kita bangun.
Selanjutnya tokoh masyarakat juga perlu kita rangkul, karena bagaimanapun realitas masyarakat di Indonesia masih sangat mempercayai dan bergantung pada tokoh. Selain akan menjadi penggerak utama, mereka bisa dimanfaatkan sebagai bemper jika gerakan mendapat pertentangan dari penguasa atau kelompok tertentu yang merasa terusik. Dengan pengaruh yang mereka miliki tentunya kelompok penentang akan berpikir sekian kali jika ingin mengganggu.
Layaknya kita sebagai generasi yang mewakili kelompok intelektual sudah saatnya tampil sebagai opinion maker bukan lagi menjadi komoditas yang terjebak pada lingkar opini yang kemudian menyeret kita kedalam gerakan praktis dan reaktif belaka. Bagaimanapun juga tidak akan ada api kalau tidak ada pemantiknya, Bola yang dilempar akan memantul sebanding dengan seberapa kuat lemparannya (Teori Newton II ). Tidak akan terwujud suatu gerakan massif dan tertata rapi tanpa kita menangkap dan melemparkan opini secara terus-menerus.
PARADIGMA PMII
PENDAHULUAN
Sebagai organisasi, PMII tentunya tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya, dimana untuk menjalankan roda organisasi dan bagaimana organissi mengambil sikap atas fenomena dan persoalan yang berkembang pada wilayah empiris. Maka diperlukan sebuah landasan, pedoman dan cara pandang. Pedoman, landasan atau cara pandang itulah yang dinamakan dengan paradigma. Paradigma menjadi sangat signifikan dalam sebuah organisasi karena merupakan sebuah ruh dari sebuah pergerakan untuk mnentukan sikap atas persoalan yang ada, baik persoalan internal organisasi maupun persoalan eksternal organisasi.
Paradigma dalam PMII menjadi penting dikarenakan paradigma merupakan cara dalam mendekati obyek kajian atau persoalan (The subject matter of particular discipline). Orientasi atau pendekatan umum (general orientations)
ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana realita dilihat untuk kemudian dianalisa. Dengan demikian PMII tidak akan buta dengan melihat realitas-empiris disela-sela hiruk-pikuknya persoalan yang ada, serta tidak bisu untuk melantangkan suara ketidak adilan yang terjadi dimana-mana.
Sehingga sangat tegas bahwa PMII telah memilih Paradigma Kritis sebagai dasar untuk bertindak (to act) dan mengaplikasikan pemikiran pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan sebuah analisa atas berbagai persoalan yang ada disekitar kita.
PENGERTIAN
Paradigma merupakan cara pandang yang mendasar dari seorang ilmuan. Paradigma tidak hanya membicarakan apa yang harus dipandang, tetapi juga memberikan inspirasi, imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga membuat perbedaan antara ilmuan satu dengan yang lainnya.
Paradigma merupakan konstelasi teologi, teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial.
Paradigma merupakan konstalasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun sosiologi dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru.
Paradigma adalah model atau sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan. Paradigma, juga merupakan pegangan bersama yaang dipakai dalam berdialog dengaan realitas. Paradigma dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang.
PERAN PARADIGMA
Dengan paradigma pergerakan, diharapkan tidak terjadi dikotomi modal gerakan di dalam PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah selesai antara model gerakan jalanan dan gerakan pemikiran .
Gerakan jalanan lebih menekankan pada praksis dengan asumsi percepatan transformasi sosial. Sedangkan model gerakan pemikiran bergerak melalui eksplorasi teoritik, kajian-kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan ilmiah yang lainnya, termasuk penawaran suatu konsep kepada pihak-pihak yang memegang kebijakan, baik ekskutif, legislatif, maupun yudikatif.
Perbedaan antara kedua model tersebut tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, tetapi yang berimplikasi pada objek dan lahan garapan. Apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan belum tentu dianggap penting dan perlu oleh gerakan pemikiran dan begitu sebalikmya, walaupun pada dasarnya kedua model tersebut merupakan satu kesatuan.
Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model jalanan dengan intelektual-intelektual. Begitu juga sejarah gerakan PMII selalu diwarnai dengan pertentangan yang termanifestasikan dalam gerakan politik-struktural dengan gerakan intelektual-struktural dengan gerakan intelektual-kultural.
Semestinya kedua kekuatan model tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga memperlemah gerakan PMII itu sendiri. Upaya untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model gerakan, menjadi sangat penting untuk dirumuskan. Sehingga pluralitas setinggi apapun dalam model dan strategi gerakan, tidak menjadi masalah, dan bahkan secara sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung.
Letak paradigma adalah dalam menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan yang dilakukan sesuai dengan lokalitas dan kecenderungan masing-masing.
PENERAPAN
Sepanjang sejarah PMII dari Tahun 80an hingga 2010, ada 3 (tiga) Paradigma yang telah dan sedang digunakan. Masing-masing menggantikan model paradigma sebelumnya. Pergantian paradigma ini mutlak diperlukan sesuai perubahan dengan konteks ruang dan waktu. Ini bersesuaian dengan kaidah Taghoyyurul ahkami bi taghoyyuril azminati wal amkinati. Bahwa hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Berikut ada beberapa jenis paradigma yang disinggung pada pembahasan di atas:
Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran
Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (sekjend) 1994-1997. Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan dalam PMII.
Paradigma pergerakan dirasa mampu untuk menjawab kegerahan anggota pergeraan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional. Era pra reformasi di PMII menganut paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
Paradigma ini muncul dikarenakan restrukturisasi yang dilakukan orde baru telah menghasilkan format poltik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist state) di beberapa negara Amerika Latin dan Asia. Ciri-ciri itu antara lain adalah :
Munculnya negara sebagai agen otonom yang perannya kemudian mengatasi masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya.
Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik.
Semakin terpinggirkannya sektor-sektor populer dalam masyarakat (termasuk kaum intelektual).
Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jarigan-jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politis.
Penggunaan secara efektif hegemoni idiologi untuk memperkokoh dan melestarikan sistem politik yang ada.
Rezim Orde Baru adalah lahan subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara yang hegemonik. Sikap perlawanan itu didorong pula oleh teologi antroposentrisme transendental yang memposisikan manusia sebagai Kholifatullah fil ardh. Hal penting lain dari paradigma ini adalah mengenai proses rekayasa sosial yang dilakukan PMII. Rekayasa sosial yang dilakukan melalui dua pola.
Melalui advokasi masyarakat,
Melalui Free Market Idea . Advokasi dilakukan untuk korban-korban perubahan, bentuk gerakannya ada tiga yakni, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta pendampingan.
Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagan dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society.
Kemudian yang diinginkan dari Free Market Idea adalah tejadinya transaksi gagasan yang sehat dan dilakukan oleh individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi.
Paradigma Kritis Transformatif
Pada periode sahabat Saiful Bahri Anshari (1997-2000) diperkenalkan paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya, prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan paradigma Arus Balik. Titik bedanya terletak pada kedalaman teoritik serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta krtisisme intelektual muslim seperti, Hasan Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad Arkoun dll.
Di lapangan terdapat konsentrasi pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya, gerakan PMI terkonsentrasi di aktivitas jaanan dan wacana kritis. Semangat perlawanan terhadap negara dan dengan kapitalisme global masih mewarnai gerakan PMII.
Kedua paradigma sebelumnya mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman Wahid (almarhum) terpilih menjadi presiden ke-4 RI pada November 1999. para aktivis PMII dan aktivis civil society umumnya mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society Indonesia naik ke tampuk kekuasaan.
Aktivis pro-demokrasi mengalami kebingungan antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlementer, atau bersikap sebagaimana pada presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsur-unsur orba yang memusuhi preiden ke-4 ini.
Pilihan tersebut memunculkan pendapat bahwa aktivis pro-demokrasi telah menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian secara rasional sikap PB. PMII dimasa kepengurusan Nusron Wahid (2000-2002) secara tegas terbuka mengambil tempat mendukung demokrasi dan reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presiden Gus Dur.
Mengapa Paradigma Kritis?
Dalam memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang mendasarinya, antara lain :
Secara Internal
Teori ini menerima pandangan tentang perlunya kategori imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan bahwa untuk memilki pokok bahasan ( subjet matter) seorang harus mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga aturan serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk melakukan ini semua maka digunakan pola pikir kritis.
Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi kebetulan. Yaitu dengan cara membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire adalah kesadaran kritis (critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal darn fungsional tentang tingkah laku sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Teori kritis bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor tentang teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan yang tersembunyi antara teori dan praktek sebagai salah satu titik tolaknya, dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya dengan pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi PMII,
Masyarakat indonesia adalah masyarakat plural (majemuk) yang terdiri dari suku,,agama, ras (etnis) dan tradisi, kultur maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara komunitas satu dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat digunakannya paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama (toward open and equal society) bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya Memanusiakan Manusia.
Masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan dipinggirkannya oleh perkembangan jaman. Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan memandulkan kesadaran rakyat untuk mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark, bahwa kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi keniscayaan untuk diterapkan.
Selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan dengan cara hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang. Dampak dari sistem ini adalah masyarakat dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi, maupun melakukan pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara apapun demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena seperti ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment) bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap negara yang totaliter hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment, enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat kita agar rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).
Menghancurkan paradigma keteraturan ( order paradigm ). Karena penerapan paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosial (sicial harmony ), sehingga gejolak sekecil apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan sana-kemari tanpa memberikan kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk melakukan pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.
Masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Sehingga secara tidak sadar telah terjadi pemahaman yang distortif tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi dogmatisasi agama sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang agama menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disisi lain agama hanya dijadikan komoditas kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan ) oleh kelompok tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan tidak mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan mengadakan rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran ) pemahaman masyarakat melalui paradigma kritis. Dan harus diakui pula bahwa agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator dalam moral forcement dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah agama akan benar-benar kembali kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.
Penerapan Paradigma Kritis
Diatas telah banyak dikupas tentang mengapa digunakannya paradigma kritis dalam tubuh PMII sebagai eksplorasi pemikiran menuju tindakan. Maka dalam penerapannya tetap akan melihat realitas yang terjadi dan sepenuhnya merupakan proses dialektika pemikiran manusia. Sehingga jangan heran ketika sahabat-sahabat PMII dikesankan oleh NU, sebagai komunitas yang tidak tahu etika dan tata krama terhadap orang tua (yakni orang tua NU ). Meski secara struktur-organisatoris PMII tidak berada dibawah NU.
Dalam hal ini paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka pikir (manhaj al-fikr) dalam analisis dalam memandang persoalan. Tentunya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran dan nilai-nilai agama. Dan bahkan ingin mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Konteks inilah paradigma kritis tidak berkutat pada wilayah hal-hal yang bersifat sakral. namun lebih pada persoalan yang bersifat profan. Lewat paradigma kritis persoalan-persoalan yang bersifat profan dan sakral akan diposisikan secara propesional. Dengan kata lain paradigma PMII berusaha untuk menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dan motifasi untuk melakukan kekhalifahan dimuka bumi (kholifah fi al-ardh).
Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal, yang harus dilakukan dalam mengaktualisasikan pemikiran menuju sebuah tindakan, yakni ;
Pertama, mengadakan pembongkaran terhadap ideologi, dengan memberikan kebebasan dari semua rantai penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya. Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis terhadap dogma-dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang disampaikannya, namun bagaimana masyarakat agama juga berhak melakukan tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang selama ini mereka anut.
Proses kritisisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini tidak saja dilakukan terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan pemikiran-pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi dialektika dan dinamika dalam kehidupan.
Kedua, menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak hanya bermuara pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada kalangan NU sendiri atau yang lain. Untuk mengaplikasikan paradigma kritis ini tentunya PMII harus benar-benar menyatakan sikap perjuangannya untuk terlibat (involve ) langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
Ketiga, Semangat religius Islam. PMII dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang tetap berada dalam frame dan semangat religiusitas Islam dengan tidak meninggalkan wilayah sakral beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah profan agama. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang didalamnya.
Paradigma Menggiring Arus, Berbasis Realitas
Pada masa kepengurusan sahabat Heri Harianto Azumi (2006-2008) secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan kapitalis internasional. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri sulit dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktifis PMII sering larut pada impian membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga. Efek besarnya, upaya strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektualpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme.
Dengan kata lain dalam upaya melawan neoliberalisme banyak gerakan terperangkap dalam knsep-konsep Liberalsme, Demokrasi, HAM, Civil Society, Sipil vs Militer, Federalisme, dll yang dipakai sebagai agenda substansial padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, ke semuanya nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal.
Persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis realitas paralel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusuan paradigma semacam ini adalah, untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari gerakan mainstream. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan kenyataan dari pada logos.
PENUTUP
Kiranya paradigma kritis bisa digunakan sebagai pola pikir dan cara pandang (manhaj al-fikr ) yang mampu menerjemahkan dan mentransformasikan dalam kehidupan dan kemaslahatan umat agar tercipta kehidupan yang tasamuh (toleransi ), taadal (keadilan), tawazun (kesetaraan ), dan dialogis ( syuro) diantara sesama manusia.
ANALISIS SOSIAL (ANSOS)
PENDAHJULUAN
Analisis sosial atau yang lebih akrab dikenal ansos ini merupakan sebuah proses atau mekanisme yang akan membahas problematika-probelmatika yang terjadi pada sebuah objek analisa dan pada akhirnya akan menghasilkan apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan atas problematika-problematika tersebut. Dari sana, kita dapat menentukan apa sebenarnya yang dibutuhkan untuk dicarikan solusi yang tepat.
Inilah yang acapkali tidak dilalui oleh para problem solver. Mereka seringkali menghasilkan solusi atas problematika yang hadir bukan berdasarkan hasil analisis mendalam namun hanya berdasarkan dugaan yang argumentasinya lemah atau bahkan hanya berdasarkan pada kemauannya saja. Mungkin permasalahan yang nyata di lapangan akan terselesaikan, namun karena ia tak akan menyentuh sampai ke akarnya maka akan hadir permasalahan-permasalahan baru atau bahkan permasalahan yang nyata tersebut tidak hilang sama sekali.
PENGERTIAN ANSOS
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, struktural dan konsekuensi masalah.
Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial.
RUANG LINGKUP ANSOS
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan perubahan. Secara umum objek sosial yang dapat dianalisis antara lain;
Masalah-masalah sosial, seperti : kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas.
Sistem sosial, seperti : tradisi, usaha kecil atau menengah, sistem pemerintahan, sistem pertanian.
Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan. Kebijakan publik seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
PENTINGNYA TEORI SOSIAL
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah dianalisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris. Charles lemert (1993) dalam Sosial Theory ; The Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut
Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam analisis sosial.
Pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan aktor yang memperlakukan institusi sebagai sumber daya dan aturan yang diproduksi terus-menerus.
Kedua, analisis perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial.
LANGKAH-LANGKAH ANSOS
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain :
Memilih dan menentukan objek analisis :
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalisis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.
Pengumpulan data atau informasi penunjang :
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung di lapangan. Recek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.
Identifikasi dan analisis masalah :
Merupakan tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.
Mengembangkan presepsi :
Setelah diidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif.
Pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternatif sebagai kerangka tindak lanjut.
Menarik kesimpulan :
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang ; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.
PERANAN ANSOS DALAM STRATEGI GERAKAN PMII
Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis ), sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).
CONTOH REKAYASA SOSIAL
Prolog: Sebuah Kasus Awal
Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil pinggiran hutan di Kalimantan adalah komunitas adat yang setia terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan tanah masih bersifat sakral dan berdimensikan transendental. Tapi sejak upaya modernisasi dari negara melalui proyek pembangunan dengan program transmigrasi, pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya, daerah tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar komunitas adat, tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena parabola.
Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai terlihat dengan persentuhan dengan masyarakat luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna yang terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi) masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu bersosialisasi, berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru memasuki desa dan jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang memperkuat kebersamaan, karena tetangga yang belum mempunyai televisi boleh menumpang menonton. Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga memilikinya, maka kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing keluarga melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya.
Tanpa disadari media telivisi telah merubah segalanya dalam struktur maupun kultur masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah Ignas Kleden menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan tingkah laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh hadirnya sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang menghargai kebersamaan beralih menjadi individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat pragmatisme dalam memaknai segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika memaknai tanah warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela tanah warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual kepada pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe dan apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat terpencil tersebut. Lambat laun, masyarakat tersebut sudah berubah citranya secara fundamental sebagai masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi masyarakat pinggiran berwajah metropolitan dengan segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang diuntungkan dalam kondisi masyarakat yang demikian ternyata tidak merata. Bahkan hampir sebagian besar masyarakat tetap menjadi penonton dalam perubahan struktur maupun kultur yang terjadi.
Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Membiarkan berada dalam situasi ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta terlibat merancang sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat tersebut dapat direncanakan?
Perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial
Prolog ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu preskripsi bahwa perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan sosial tersebut dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam masyarakat yang berada dalam
order (tatanannya); meskipun didalamnay berkelindan berbagai perubahan. Artinya; tiada masyarakat yang dapat steril dari perubahan sosial. Justru perubahan sosial memberikan suatu bukti terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut. Tanpa perubahan sosial, masyarakat tersebut adalah masyarakat yang mati, stagnan, tanpa dinamika.
Terdapat dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social change ). Perubahan social yang terjadi terus menerus yang terjadi secara perlahan yang tanpa direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh teknologi dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas adalah salah satu bentuk adanya perubahan yang tidak disadari dengan hadirnya kebudayaan materiil, yakni televise. Kedua, perubahan social yang terencana (planned social change ); yakni sebuah perubahan social yang didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya.
Nah, dalam kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi akibat sebuah desain matang (rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui proyek modernisasi yang berbalut ideologi pembangunanisme (developmentalisme ).
Lalu apa sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial
Sementara Suparlan menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu.
ANALISIS WACANA
PENDAHULUAN
Wacana melalui media, merupakan komponen penting dalam demokrasi. Media menjadi sarana intimidasi kesadaran paling efektif di tengah kerinduan masyarakat tentang kehidupan ideal. Tak ayal, jika tokoh politik menjadi media darling dengan tanpa ada jarak untuk mengkritisi.
Trend syahwat menjadi media darling tokoh-tokoh politik Indonesia seolah tanpa puncak. Ditengah semakin tumpulnya, kesadaran kritis informasi, mediaa justru melalui pelbagai acara, mem- breeding kelebihan-kelebihan tokoh politik tanpa melihat ketidakmampuannya.
Contohnya, melalui acara Mata Najwa, tokoh politik daerah pun dengan berbekal prestasi sederhana menjadi tokoh nasional. Tri Risma Harini, sejatinya konsep pembangunan Kota Surabaya bukan ide pribadinya, akan tetapi ide Bambang DH (Wali Kota sebelumnya). Pengakuan ini, sudah menjadi rahasia umum di kalangan aktivis Surabaya yang bergerak di lingkungan dan pelbagai pekerja media. Betapapun demikian, pekerja media tidak bisa menyuarakan kebenarannya karena ditekan pelbagai pihak kepentingan.
Di sisi lain, bola liar wacana Tri Risma Harini sebagai konseptor tata kelola Surabaya sudah tidak terbendung. Akhirnya, segala tindakan yang dilakukan Tri Risma Harini, meskipun bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi dianggap wajar. Satu contoh penertipan Pedagang Kaki Lima (PKL) Surabaya dan Pemulung Kota Surabaya. Menurut Yasin Efendi S.H, Koord. Advokasi Publik LBH Surabaya, menyatakan, arogansi Tri Risma Harini dalam menertibkan PKL dan Pemulung di Kota Surabaya sudah melanggar konstitusi. Sebanyak 20 koordinator paguyuban PKL dan Pemulung dipidanakan hanya karena tetap beroperasi. Pemidanaan tesebut didasarkan, pelanggaran Peraturan Wali Kota No 19 Tahun 2013 tentang Tata Kelola Surabaya.
Padahal isi Perwali tersebut, bertentangan dengan asas-asas hukum pembuatan regulasi. Misalnya, nilai kepastian dan humanisme. Para Peraturan Wali Kota No 19 Tahun 2013 tentang Tata Kelola Surabaya. Kepastian hukumnya tidak ada, terbukti banyak sekali indomart atau alfamart yang tetap berdiri megah meskipun berada di tanah pemerintah Surabaya. Selain itu, proses pengalihan tempat pedagang kaki lima atau pemulung. Hasil penelitian Pusham Surabaya menyatakan, pelanggaran nilai humanisme Tri Risma Harini terhadap PKL dan Pemulung sangat memprihatinkan. Pasalnya, hak hidup dan bekerja dikebiri dengan cara-cara pemidanaan berdasarkan produk hukum sendiri.
Fakta kebungkaman media melalui strategi wacana tidak hanya ada dalam kasus Tri Risma Harini. Banyak serupa, misalnya Yoyok Subianto (Bupati Batang), Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, Basuki Tjahaya Purnama (Gubernur Jakarta). Bahkan beberapa aktivis hak asasi manusia menjadi korban pewacanaan media atas dasar permintaan kelompok kepentingan, seperti Choirul Anam (Direktur HRWG), Asfinawati (Mantan Direktur LBH Jakarta) dan masih banyak lainnya.
Berdasarkan problematika di atas, kita sebagai generasi intelektual muda harusnya mengambil peran pemnfaatan wacana untuk membangun kecerdasan masyarakat. terlebih sebagai bagian dari anak-anak Nahdhotul Ulama (NU) yang kental dengan tradisi intelektual. Selain itu, saat ini situasi gerkan-gerakan Islamisme semakin menyerang dan mengakar di masyarakat. Eksistensi NU juga semakin tergerus dengan wacana Islam Kaffah.
PENGERTIAN
Tulisan ini sengaja diawali dengan pengertian tentang wacana. Hal ini penting dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai studi analisis wacana yang lebih komprehensif. Berdasarkan pelbagai kajian CMARs Surabaya, menyebutkan orang-orang sekarang cenderung menyederhanakan pengertian wacana. Tidak mengherankan, jika di kalangan akademisi, agamawan muda dan masyarakat awat mengucapkan hanya sekedar wacana. Berikut pelbagai pengertian wacana:
Collins Concise English Dictionary (1988)
Wacana adalah komunikasi verbal, ucapan, percakapan; sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.
Longman Dictionary of the English Language (1984)
Wacana adalah sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah dan sebagainya;sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.
J.S. Badudu (2000)
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
Crystal (1987)
Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan.
Hawthorn (1992)
Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di anatara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di amna bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
Roger Fowler (1977)
Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya;kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.
Foucault (1972)
Wacana adalah kadang kala sebagai bidang dari semua pernyatan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernytaan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Adanya perbedaan mengenai wacana ini lebih dikarenakan adanya cara pandang yang berbeda dari disiplin ilmu yangmelatarbelakanginya. Dalam lapangan sosiologi, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik ini merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut.
Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial, diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya.Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktikpemakaian bahasa, terutama politik bahasa karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Dengan pelbagai pengertian istilah wacana yang berbeda-beda tersebut ada titik singgungnya, yaitu analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa.Bahasa sebagai fakta sosial dianalisis untuk mencari makna, kepentingan, nilai dan segala bentguk kesadaran manusi. Pada akhirnya, peneliti akan memahami kesadaran konsensus dalam masyarakat dengan kurun waktu tertentu.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasio yang besar dari berbagi definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana? sebelum lebih jauh ada beberapa pengertian terkait dengan analisis wacana itu sendiri, di antaranya yaitu:
Wacana : sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan ; pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya. (Longman Dictionary of vthe English Language)
Wacana : rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang lainnya, membentuk suatu kesatuan, sehimgga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu. (J. S. Badudu 2000)
Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktifitas personal dimana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. (Hawthorn 1992)
Di sini ada beberapa perbedaan pandangan. Mohammad A. S. Hikam dalam suatu tulisannya telah membahas dengan baik perbedaan paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa ini yang akan diringkas sebagai berikut :
Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahas dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris , oleh penganut aliran ini, bahas dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan obyek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distori, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sitaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiri. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuansi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai-nilai yang mendasari pernyataanya. Oleh karena itu, tata bahasa, kebanaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivisme-empiris tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.
PENERAPAN ANALISIS WACANA
Analisis Wacana sebagai Metode Penelitian
Dari segi normatif, Komarudin Hidayat memandang kemampuan berbahasa merupakan kelanjutan dariperjalanan panjang sabda Tuhan yang ditansformasikan kepadamanusia. Dengan mengikuti alur pemikiran ini, maka kebudayaanadalah manifestasi dari kapasitas bahasa akal budi serta aktualisasi darikebebasan manusia, untuk menjadikan sabda sebagai budaya.Fenomena negara, birokrasi, perilaku politik dan segala macam aturanserta norma kehidupan manusia tak lain adalah teks yang tertulis danterlembagakan dalam kertas maupun lembaran sosial sebagai ekspresibahasa batin ( inner language) ke dalam bahasa praksis (praxis language).
Karena dunia manusia diawali, dibangun serta dipelihara dengan sabda Tuhan, yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk bahasa, maka jika dunia bahasa mengalami krisis akibatnya keseimbangan kosmik dan sosial bisa gonjang-ganjing. Di sini perlu diingat, bahwa artikulasi dan ekspresi bahasa bisa dalam bentuk ucapan, tulisan, gerak tubuh, dan ekspresi lain. Ucapan hanyalah sebagian kecil dari berbahasa, meskipun ucapan adalah saluran paling vokal dari aktivitas berbahasa.
Meskipun bahasa ucapan paling mudah dan vokal untuk dikemukakan, namun ia memiliki kelemahan yang serius. Bagi orangyang memiliki integritas tinggi, ucapannya memang bisa dipegang dan dijadikan indikator dari keluhuran budi serta kedalaman ilmunya. Tetapi sebaliknya, seringkali kita jumpai bahasa ucapan digunakan sebagai topeng untuk menutupi agar kebusukan seseorang tidak terlihat oleh orang lain. Oleh karenanya dalam dunia akademis bahasa tulisan dijadikan standar karya keilmuan, agar kapasitas keilmuannya mudah diuji dan diapresiasi oleh orang lain.
Lebih dari itu, kalau saja apresiasi peradaban seseorang atau suatu masyarakat tidak diawetkan ke dalam bahasa tulis, generasi berikutnya akan rugi, dan berbagai bangunan peradaban berarti harus dimulai lagi dari nol. Maka sangat benar jika dikatakan bahwa peradaban manusia ini mengalami loncatan dan pengkayaan yang luar biasa besarnya, setelah ditemukannya mesin tulis dan mesin cetak. Bayangkan saja kalau manusia tidak menciptakan sistem tanda (terutama bahasa tulis), maka khazanah peradaban masa lalu akan hilang. Ini berarti bahasa bukan sekedar media komunikasi, melainkan sebuah realitas ontologis yang bereksistensi dan tumbuh dalam panggung sejarah.
Ketika seorang membaca dan memahami sebuah teks, secara tidak langsung ia memproduksi ulang dan menafsirkan teks sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan subyektivitasnya. Oleh karenanya sebuah teks yang sama ketika dibaca ulang bisa melahirkan pemahaman baru.Karena setiap pengarang, teks dan pembaca tidak bisa lepas dari konteks sosial politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami teks diperlukan transfer makna.
Bahasa, di mata para fenomenolog, bukan hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan-pengungkapanmaksud-maksud dan makna-makna tertentu. Bagi mereka, wacana adalah suatu upaya pengungkapan makna tersembunyi dari subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Bahkan semua ahli komunikasi sepakat, bahwa makna kata sangat subjektif.
Para ahli filsafat dan linguis umumnya mengakui bahwa, masalah makna suatu ungkapan bahasa merupakan persoalan yang paling mendasar di dalam filsafat bahasa. Pada awal perkembangannya di Inggris, sebagai seorang tokoh utama yang memperkenalkan madzhab analitik bahasa ini, mempersoalkan makna yang dikandung dalam ungkapan filsafati. Russel dan Wittgenstein, kemudian melangkah lebih maju dalam rangka memberi bobot maknake dalam bahasa filsafat melalui bahasa yang bersifat logis sempurna. Mereka membedakan antara struktur logis dan struktur bahasa, sehingga memudahkan kita untuk membedakan antara ungkapan yang tidak mengandung makna (meaningless) dan yang mengandung arti(meaningful) . Langkah-langkah ini dilanjutkan pula oleh positivisme logis yang berupaya menentukan kriteria pernyataan yang mengandung makna, melalui prinsip verifikasi.
Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya. Dan tanda bahasa, seperti kata Althsuser, filosof abad XX berkebangsaan Perancis, merupakan arena perjuangan ideologis berbagai kepentingan. Senada dengan hal itu, Karl Manheim, pemikir sosiologi pengetahuan dan Jurgen Habermas, filosof kritis, meyatakan bahwa pengetahuan tidak bisa dilepaskan pertautannya dengan kepentingan. Derrida juga menegaskan hal yang sama. Bahasa tidak pernah netral dan tidak pernah bersalah (innocent). Walaupun sering menampilkan diri sebagai kebenaran, ia penuh dengan asumsi dan investasi ideologis yang tidak segera tampak. Demikian Moh Yasir Alimi menjelaskan mengenai kedudukan bahasa dipandang dari berbagai segi filsafat ataupun sosiologi.
Dalam perkembangan selanjutnya, wacana deperkenalkan oleh M. Foucault dengan istilah discourse. Menurutnya, discourse mempunyai arti artikulasi ideologis dari kenyataan yang dibentuk oleh kelompok-kelompok yang saling berkompetisi untuk memperebutkan kebenaran tafsir sejarah, termasuk di dalamnya wacana agama. Oleh karena itu, d iscourse adalah konstruksi ideologis (ideological construction) yang dipakai untuk melegitimasi mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan, dalam pengertian inilah, ditegaskan di sini bahwa pemikiran keagamaan adalah discourse , yaitu konstruksi ideologis untuk melegitimasi dan mempertahankan dominasi secara sosial, politik maupun ekonomi.
Sebutan diskursus juga untuk menunjukkan salah satu aspek konstinutif bahasa. Dalam aspek ini, bahasa bukan hanya, seperti yang sering dipahami, mengkomunikasikan pikiran, atau merepresentasikan gagasan, tapi juga membentuk/ mengkonstitusikan kenyataan. Di sinilah perbedaan antara diskursus dan kalimat (sentences). Kalau kalimat hanyalah mengungkapkan kabar/berita sedangkan diskursus mempengaruhi jiwa, menyerang integritas, menimbulkan konsekuensi ideologis dan membentuk kenyataan. Contoh ungkapan Saya laki-laki atau Saya perempuan bukan sekedar menunjukkan kabar bahwa jenis kelamin saya adalah laki-laki. Ungkapan itu juga mempunyai konsekuensi ideologis bahwa Saya adalah laki-laki, maka bila ingin menjadi laki-laki sejati tidak selayaknya saya memakai pakaian, identitas, atau identifikasi apapun yang selama ini dilekatkan pada perempuan. Demikianlah ungkapan itu akhirnya bukan sekedar kalimat, tapi juga suatu kontrol ideologis untuk menjadi perempuan dan laki-laki sejati.
Analisis Wacana sebagai Salah Satu Metode Kajian Teks
Ada tiga metode dalam membahas isi media dengan pendekatankualitatif, yaitu analisis wacana (discourse analysis), analisis semiotik, (semiotic analysis), atau analisis framing/ bingkai (framing analysis), yang semuanya berpijak pada asumsi bahwa sebenarnya isi media dipengaruhi oleh berbagai komponen yang terdapat dalam institusi media itu sendiri.
Secara umum, karakteristik penting dari analisis wacana kritis antara lain:
Tindakan.
Wacana adalah bentuk interaksi, oleh karena itu wacana harusdipandang sebagai sesuatu yang bertujuan apakah untukmembujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. Di samping itujuga wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secarasadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali ataudiekspresikan di luar kesadaran.
Konteks.
Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu kontekstertentu, maka analisis wacana kritis sudah semestinyamempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi,peristiwa dan kondisi.
Historis
Sisi historis perlu dikembangkan untuk mendapatkan pemahaman mengenai wacana teks. Sehingga, pada saat melakukan analisisdapat ditemukan alasan mengapa wacana yang berkembang ataudikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itudan seterusnya.
Kekuasaan
Elemen kekuasaan perlu diketengahkan dalam analisis wacana karena setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapanatau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar,dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
Ideologi
Ideologi tidak bisa lepas dalam pembentukan sebuah wacana, yang pengaruhnya terlihat dalam waujud teks, percakapan dan lainnya.
Berdasarkan karakteristik analisis wacana di atas, menururt Eriyanto pendekatan analisis wacana ini ada 5 macam yaitu:
Analisis Bahasa Kritis ( Critical Lingusitic) .
Inti dari gagasan critical lingusistic adalah melihat bagaimanagramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu.Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat bahasadan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan katamaupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yangdipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna ideologi tertentu.
Analisis Wacana Pendekatan Perancis (French Discourse Analysis)
Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi Althusser dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan Pecheux,bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa danmaterialisasi bahasa dan ideologi. Keduanya, kata yang digunakandan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalamkelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui manaberbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkankeyakinan dan pemahamannya.
Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach )
Dalam pendekatan ini, wacana yang dikembangkan Van Dijk dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakansuatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial.
Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change Approach)
Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial. Dengan memandang wacana sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektisantara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Wacanajuga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.Memaknai wacana demikian, menolong menjelaskan bagaimanawacana dapat memproduksi dan mereproduksi status quo danmentransformasikannya.
Pendekatan Sejarah (Discourse Historical Approaches)
Wacana di sini disebut historis karena menurut Wodak dkk, analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimanawacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan.
CONTOH ANALISIS WACANA
Contoh dalam kasus Ahmadiyah
Kelompok Enam dan Tujuh
Dilihat dari sejarah Mira Gulam Ahmad mendominasi di India yang pindah ke inggris lantas menyebarkan agama islam di sana dan terjadi perbedaan tentang nabi terakhir.
Jadi wajar ada perbedaan tentang Ahmadiyah.
Kelompok Pertama
Di indonesia dianggap sebagai madzhab bukan sebagai ajaran, jadi siapa sebenarnya Mira Gulam Ahmad?
Sebenarnya Gulam Ahmad adalah seorang muslim yang taat dan kreatif menulis buku. Sebelum pindah ia sudah menulis buku yang isi di dalamnya Gulam Ahmad berkata : Aku adalah Adam, Aku adalah Ibrohim, Aku adalah Musa.
Dari itu orang terlalu ngefans sama ia, sehingga orang-orang menganggap ia Nabi.
Intinya tidak menjustifikasikan ahmadiyah.
Pertanyaan : Andakan orang Indonesia kenapa anda tidak menjustifikasikan Ahmadiyah?
Jawab : berdasarkan Pancasila dan Ayat Surat Al-Kafirun
Kelompok ke Tiga
Kenapa Ahmadiyah dianggap sebagai aliran sesat, mari kita simak
Sebenarnya orang inggris ingin menghancurkan islam dari dalam, itu terbukti kenapa disebut Ahmadiyah, kalau di Indonesia lebih moderat dengan mengikuti ajaran islam dan mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi, tapi dalam kenyataan menyalahi aturan. Intinya Ahmadiyah dianggap sesat.
Pertanyaan : Setujukah anda dengan tindakan anarkis di Indonesia?
Jawab : Tidak, karena termasuk tindakan kriminal dan merugikan banyak pihak.
Opini wacana, Analisa wacana harus :
Obyektif, kalau tidak obyektif maka terjadi perbedaan justifikasi benar atau salah
Wacana berkembang tidak lepas dari nilai ( value)
Wacana berkembang tidak lepas dari faktor kepentingan
Setiap wacana yang berkembang pasti mempengaruhi massa/tanggapan massa
Pertanyaan : Apakah Gusdur mengatakan Ahmadiyah boleh di Indonesia asal jangan menggunakan kata islam?
Jawab : yang menolak pasti islam kanan mentok , yang menganalisa secara kaffah, sedangkan Gusdur tidak menganalisa secara obyektif. Segala sesuatu tidak lepas dari faktor kepentingan, seperti kasus Ambalat dan kasus tragedi 12 Mei/ penurunan ORBA adalah tidak lepas dari kepentingan-kepentingan besar seperti IMF dan para pemodal, sedangkan mahasiswa hanya sebagai alat. Alat untuk mempermudah untuk mencapai tujuan kepentingan, jadi mahasiswa seharusnya tidak hanya melihat sesuatu yang nampak saja.
Pada tahun 1980 Ahmadiyah dianggap sesat kenapa sampai sekarang masih ada Ahmadiyah? Tidak ada yang tahu hati seseorang, karena tidak mudah merubah keyakinan seseorang!
Jadi Wacana Yang Berkembang Tidak Lepas Dari Faktor Kepentingan
PENUTUP
Dewasa ini, menyoal wacana, harusnya menjadi kesadaran gerakan intelektual bersama. Hal ini didasarkan, praktik usaha mencapai kepentingan terbungkus rapi dalam politik wacana. Representasi nilai keadilan dan humanisme, seolah menjadi bagian strategi membungkus kepentingan politik, kekuasaan dan lain sebagainya.
Permasalahan di atas, sejatinya bukan hal yang baru. Studi-studi berdimensi kritis sejak tahun Tahun 1960 pun sudah menyuarakan permasalahan tersebut. Akan tetapi, betapapun demikian, akan tetapi gerakan belum mencapai bentuknya. Artinya, secara pengembangan keintelektualan akademisi, seringkali tidak bisa mengakomodir. Akademisi hanya melandaskan pada prosedul ilmiah baku, sebagai pijakan kekritisannnya.
Menanggapai permasalahan tersebut, saat ini hanya analisis wacana yang mampu menyambut kegundahan kekritisan tersebut. Sebagian besar akademisi semisal ahli linguistik Unair, sudah mempropagandakan analisis wacana sebagai strategi perjuangan dalam kajian-kajian akademisi. Subjeknya sangat real, yaitu bahasa. Pandangan ini dilandaskan pada paham strukturalis yang menyatakan bahwa bahasa adalah realitas fakta sosial. Hal ini menjadi uforia tersendiri dalam gerakan-gerakan intelaktual.
Uforia tersebut, harusnya tidak membuat kita kaget. Karena sejatinya, sebagai warga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sudah menjadi ideologi kritis berdimensi ilmiah. Dalam sejarahnya, kita tidak dibiasakan untuk kritis dengan hanya berorasi tanpa punya analisis dan kajian ilmiahyang kokoh (Budaya Cangkeman).
Akhirnya, sebagai penutup, saya mengatakan Anda sangat beruntung menjadi warga PMII, terlebih PMII Kabupaten OKI. Sejak dahulu, PMII Kabupaten OKI mentradisikan kajian dalam pelbagai isu, terutama isu tentang menangkal gerakan Radikalisme. Kita dilahirkan di NU, masuk organisasi NU, harusnya kita berjuang bersama NU dengan mengedepankan tabayyun.
Selamat datang dalam pergolakan yang sesungguhnya. Pertaruhan identitas keintelektualan NU ditangan kita semua. Semoga sahabat/sahabati mengambil bagian penting dalam perjuangan visi, misi, tujuan PMII. Akhirul Qouli, Wallahumuafiq Ilaa Aqwamit Thoriq. Wasaalam Mualaikum Wr.Wb.
STRATEGI ADVOKASI: KONSEP DAN IMPLEMENTASI
PENGANTAR
Dalam konsep developmentalisme yang dikembangkan di negara-negara berkembang kasus Indonesia misalnya- telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan yang bersifat material. Pembangunan memang menjadi kata kunci bagi keinginan untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain atau dengan daerah lain. Karenanya, di setiap daerah yang dibangun akan terlahir berbagai bentuk akitivitas-aktivitas yang diselenggarakan untuk kepentingan tersebut.
Dalam konteks ini, untuk mempercepat implementasi tersebut dalam berbagai bidang; maka negara akan melahirkan sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan aktivitas pembangunan. Kebijakan (publik) menjadi penting dalam logika negara agar setiap aktivitas pembangunan memperoleh legitimasi yuridis formal; dan (tragisnya) dapat bersembunyi ketika implementasi pembangunan harus bersentuhan (dan memunculkan problem konflik) dengan kepentingan lain. Misalnya, pembangunan jalan yang melahirkan penggusuran atau ganti rugi yang tidak adil, penggusuran Pedagang Kaki Lima karena alasan penertiban kota, siswa DO karena alasan tidak sanggup membayar sejumlah biaya, dan sebagainya.
Kebijakan dalam logika negara adalah untuk kepentingan publik, makanya diberikanlah istilah kebijakan publik. Perspektif negara dalam konteks kebijakan publik ini akhirnya memberikan implikasi logis untuk memposisikan rakyat pada posisi objek, bukan sebagai subjek pembangunan. Menjadi wajar jika kemudian paradigma demikian (rentan) melahirkan realitas paradoks dalam pembangunan; untuk mensejahterakan rakyat atau justru sebaliknya. Karena ternyata dalam berbagai kasus, ada banyak kebijakan (publik) pembangunan justru melahirkan situasi kontraproduktif.
Kasus-kasus konflik yang melibatkan negara di satu sisi dan melibatkan rakyat di sisi lain terkait dengan lahirnya sejumlah kebijakan merupakan faka yang tidak dapat ditutup-tutupi. Ada banyak kebijakan yang akhirnya (dianggap) tidak berpihak pada kepentingan publik, kecuali kepentingan ekonomi-politik negara atau kekuasaan. Fakta bahwa dalam setiap konflik antara negara (baca: kekuasaan) dengan rakyat ternyata tidak pernah menguntungkan rakyat, karena hampir tidak pernah ada konflik antara keduanya dimenangkan oleh rakyat. Tatkala rakyat dirugikan dalam berbagai kebijakan tersebut, maka lahirlah sejumlah kegiatan untuk memberikan pendampingan bagi rakyat atau siapa saja yang mendapatkan perlakuan tidak adil tersebut. Pendampingan-pendampingan tersebut, baik yang dilakukan oleh Lembaga bantuan Hukum, LSM atau lembaga-lembaga yang konsen dengan perjuangan keadilan sosial, merupakan suatu bentuk advokasi.
KONSEP ADVOKASI
Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan perubahan secara terorganisir dan sistematis.
Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.
Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dim
aksud adalah advokasi keadilan sosial.
Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin.
Membantu orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang tidak salah, bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.
MENGAPA KEBIJAKAN?
Sesungguhnya masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dampak dari hubungan dan tarik-menarik kepentingan antara tiga aktor/pelaku governance , yakni negara, swasta dan masyarakat. Ketika hubungan itu berjalan tidak seimbang, biasanya terjadi karena ada persekongkolan antara negara dan swasta, maka dapat dipastikan akan lahir kebijakan-kebijakan korup yang sangat merugikan masyarakat. Ruang lingkup kebijakan publik itu sendiri meliputi peraturan (rules) , regulasi, standarisasi, Undang-Undang, pernyataan dan Instruksi (Decree) yang memiliki fungsi sebagai norma umum, standar etika maupun sanksi.
Satu bentuk produk kebijakan yang merugikan masyarakat luas misalnya saja kebijakan Pemerintah Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai Release and Discharge (R&D) yang membebaskan sekaligus memberikan jaminan tidak akan dituntut secara hukum bagi para konglomerat pengguna BLBI yang telah melunasi utang mereka.
Kebijakan ini sungguh konyol dan merugikan masyarakat luas karena pemerintah sama sekali tidak memperhatikan dimensi pidana korupsi, adanya moral hazard, pelanggaran prinsip prudential dalam berbagai kasus BLBI. Pemerintah menganggap kasus BLBI hanya merupakan perkara perdata utang-piutang saja. Padahal dana negara (baca: masyarakat) yang digunakan untuk BLBI mencapai Rp 600 triliun. Di sisi lain, Pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi BBM bagi masyarakat miskin karena subsidi dianggap membebani anggaran negara. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mensubsidi BBM? Menurut Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie, mencapai Rp 69 Triliun dengan asumsi harga minyak dunia per barel adalah US$ 37. Coba bandingan dengan dana BLBI yang dipakai untuk mensubsidi para konglomerat perbankan yang mencapai Rp 600 triliun.
Kebijakan yang mengantarkan pada terciptanya situasi ketidakadilan, kerusakan dan kemiskinan tidak hanya berdimensi nasional, namun juga menjadi masalah di tingkat lokal. Misalnya saja kebijakan penyusunan APBD yang telah disahkan dalam Perda di beberapa daerah banyak diprotes warga. Hal ini terjadi karena beberapa hal.
Pertama, dari sisi perimbangan, dana yang dialokasikan untuk belanja rutin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik.
Kedua, kebutuhan akan belanja publik seringkali tidak ada kaitannya langsung dengan kebutuhan real masyarakat sehingga rawan dikorupsi. Kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama yang menyangkut pembelian kapal, pesawat, helikopter yang saat ini sedang ramai diperbincangkan merupakan salah satu contoh kecil betapa alokasi anggaran untuk belanja publik seringkali tidak mengacu pada kebutuhan konkret masyarakat.
Ketiga, anggaran untuk menopang operasional eksekutif dan legislatif kerap kali tidak masuk akal karena alokasinya sangat besar.
Dari beberapa contoh kasus diatas, kita dapat melihat secara jelas bahwa akar masalah yang menjadi penyebab kerugian bagi masyarakat luas adalah karena adanya kebijakan. Dengan demikian, advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan ketidakadilan struktural dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi juga mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu kebijakan resmi.
Oleh karena itu, tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Walaupun dalam proses pembuatan kebijakan publik terdapat wakil rakyat, tapi hal itu tidak akan pernah menjamin bahwa kepentingan rakyat akan menjadi prioritas. Hal ini karena aktor perumus dan pembuat kebijakan memiliki logika kekuasaan dan kepentingan sendiri untuk beroperasi. Apalagi jika ruang publik dalam kehidupan politik tidak mendapatkan jaminan dalam sistem dan konstitusi.
Agar kebijakan publik tidak menjadi alat yang justru meminggirkan kepentingan publik, karena digunakan sebagai alat kekuasaan sebuah bangsa untuk melakukan/melegitimasi perbuatan-perbuatan korup dan manipulatif bagi kepentingan segelintir orang, kebijakan publik harus selalu bersinggungan dengan konsep demokrasi. Artinya kebijakan publik tidak sekedar disusun atau dirancang oleh para pakar dan elit penguasa yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak, melainkan harus menoleh pada opini publik yang beredar. Demokratis atau tidaknya perumusan kebijakan publik yang telah dilakukan akan sangat tergantung dari luas atau tidaknya ruang publik sendiri. Oleh karenanya, perluasan ruang publik dengan melakukan reformasi konstitusional yang mengarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses politik yang ada pada sebuah negara harus dilakukan.
ADVOKASI: KERANGKA ANALISIS, KERANGKA KERJA DAN KERANGKA JARINGAN
Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu sistem hukum.
Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:
Isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya kesepakatan umum (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.
Tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen).
Budaya hukum (content of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.
Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:
Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.
Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya.
Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.
Mengingat advokasi merupakan pekerjaan yang memiliki skala cukup besar (karena sasaran perubahan ada tiga aspek), maka satu hal yang sangat menentukan keberhasilan advokasi adalah pada strategi membentuk jaringan kerja advokasi atau jaringan kerja organisasi. Pasalnya kegiatan advokasi adalah pekerjaan multidimensi, sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dengan spesifikasi keahlian yang berbeda dalam satu koordinasi yang sistematis dan terpadu. Sebagai catatan, tidak ada satu organisasipun yang dapat melakukan sendiri kegiatan advokasi tanpa ada jaringan atau dukungan dari kelompok lainnya. Justru semakin besar keterlibatan berbagai pihak, akan semakin kuat tekanan yang dapat diberikan dan semakin mudah kegiatan advokasi dilakukan.
Untuk membentuk jaringan organisasi advokasi yang kuat, dibutuhkan bentuk-bentuk jaringan yang memadai. Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk jaringan organisasi advokasi yang satu sama lainnya memiliki fungsi dan peranan advokasi yang berbeda, namun berada pada garis koordinasi dan target yang sama:
Jaringan kerja garis depan (front lines) yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk menjadi juru bicara organisasi, melakukan lobi, melibatkan diri dalam aksi yuridis dan legislasi serta penggalangan lingkar sekutu (aliansi). Tentunya pihak-pihak yang hendak terlibat dalam kegiatan advokasi jaringan kerja garis depan setidaknya harus memiliki teknik dan ketrampilan untuk melakukan tugas dan fungsi jaringan ini.
Jaringan kerja basis yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian, membangun basis massa, pendidikan politik kader, mobilisasi aksi dan membentuk lingkar inti.
Jaringan kerja pendukung yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung kerja-kerja advokasi dengan cara mengupayakan dukungan logistic, dana, informasi, data dan akses.
Berhasil atau tidaknya advokasi yang kita lakukan sangat tergantung dari penyusunan strategi yang kita buat. Oleh karena itu dalam menyusun strategi advokasi harus mempertimbangkan beberapa aspek penting yang sangat menentukan keberhasilan advokasi. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:
Bahwa dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah. Apakah itu uu, perda atau produk hukum lainnya.
Kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah.
Realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan atau yang lainnya.
Batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.
Dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi
Analisa ancaman dan peluang.
KAIDAH-KAIDAH ADVOKASI
Sebagai kegiatan yang terencana dan sistematis, maka ada beberapa kaidah yang menjadi pegangan bagi tiap orang yang melakukan advokasi. Kaidah-kaidah tersebut adalah;
Mencermati posisi kasus; digunakan untuk memetakan persoalan yang berisikan identifikasi masalah, potensi dan peluang serta jangka waktu yang dikerjakan.
Identifikasi siapa kawan dan siapa lawan; dilakukan untuk memperkecil lawan dan memperbanyak kawan, melalui identifikasi siapa saja yang mendukung dan siapa saja yang menentang.
Kerjakan rencana yang sudah dibuat; agar tidak secara tibga-tiba mengubah sasarab dan target yang sudah disepakati dan disusun.
Tetap konsisten pada masalah
Jangan mudah ditakuti atau diintimidasi
Berimajinasilah
Berdoalah
CARA MELAKUKAN ADVOKASI
Advokasi untuk menuntut perubahan kebijakan dapat dilakukan dengan cara yang yang biasa dinamakan dengan langkah legislasi. Misalnya, counter draf (pengajuan konsep-konsep tanding), judicial review (hak uji materiil) atau langkah-langkah ligitasi dengan menguji di pengadilan lewat satu kasus.
Penggunaan lobi, strategi negosiasi, mediasi dan kolaborasi. Hal ini memerlukan jaringan yang kuat dan luas. Paling tidak ada 3 kekuatan yang menjadi basis dukungan,
pertama , kerja pendukung yang menyediakan dukungan dana, logistik informasi dan akses,
kedua, kerja basis menjadi dapur gerakan dalam membangun basis masa, lewat pendidikan kader atau membentuk lingkar inti dan melakukan mobilisasi aksi, dan
ketiga, kerja garis depan yang menjalankan fungsi sebagai juru bicara, perunding, pelobi, dan terlibat dalam upaya penggalangan dukungan.
Melakukan kampanye, siaran pers, unjuk rasa, mogok, boikot, peroganisasian basis dan pendidikan politik. Mlelaui pemanfaatan jaringan yang ada,
pertama, lingkaran inti yaitu mereka yang tergolong sebagai penggagas, pemrakarsa pendiri, penggerak utama sekaligus pengendali arah kebijakan, tema atau isu dari sasaran advokasi. Biasanya kelompok inti adalah mereka yang mempunyai kesamaan ideologi.
Kedua, adalah jaringan sekutu, yang melakukan kerja-kerja aksis, biasanya terdiri dari mereka yang mempunyai kesamaan kepentingan.
PENUTUP
Demikianlah berbagai catatan tentang advokasi. Pada intinya advokasi biasanya diselenggarakan melalui dua bentuk. Pertama, jalur non ligitasi (tanpa melalui pengadilan atau yang lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif, dan kedua, jalur ligitas yakni melalui proses pengadilan. Jalur-jalur tersebut biasanya dilakukan dengan melihat efektifitas sebuah gerakan advokasi. Terimakasih.
NU DAN PETA GERAKAN ISLAM (PERSPEKTIF SEJARAH, PEMIKIRAN DAN AKSI)
PENDAHULUAN
JAUH sebelum terjadinya faksi-faksi (firqah ) di kalangan umat Islam, Nabi Muhammad Saw telah memprediksi bahwa jika kelak akan muncul berbagai aliran dan golongan di kalangan umat Islam. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Orang-orang Yahudi terpecah ke dalam 71 atau 72 golongan, demikian juga orang-orang Nasrani. Dan umatku akan terbagi kedalam 73 golongan." (HR. Sunan Abu Dawud).
Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya. Akan terpecah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka. Bertanya para sahabat: 'Siapakah yang tidak masuk neraka itu ya Rasulullah?' Nabi menjawab: 'Ahlussunnah wal Jamaah." (HR. Imam Thabrani).
Sabda Nabi Saw di atas mengisyaratkan bahwa dinamika yang dialektis akan terjadi pada setiap kelompok agama, tak terkecuali Agama Islam. Perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam dalam perspektif akademik merupakan
sunnatullah (natural), tergantung bagaimana kita menyikapinya dan memposisikan dirinya dalam sebuah proses dialektika keberagaman kemanusiaan dan keislaman itu sendiri. Pada konteks inilah kita harus cerdas dan bijak dalam membaca setiap gajala dialektis yang timbul di masyarakat, tanpa harus melakukan kekerasan, apalagi pertumpahan darah. Lebih-lebih pada dimensi kekinian, di mana umat manusia (umat Islam) semakin maju dan berkembang seiring dengan dinamika jamannya, tentu cara-cara kekerasan bukanlah sebuah tindakan yang bijak dalam membaca setiap perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam. Di bawah ini akan dipaparkan tentang pemikiran dan gerakan Islam dalam perspektif sejarah, pemikiran dan aksi, agar kita dapat mengambil pelajaran secara utuh terhadap dinamika yang terjadi di kalangan umat Islam tempo dulu, dan perkembangannya dalam konteks kekinian.
EMBRIO LAHIRNYA ALIRAN DALAM ISLAM
Ketika Nabi Muhammad Saw. mulai menyiarkan Islam di Mekkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraysy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri dari kepala suku, dan dipilih berdasarkan kekayaan serta pengaruhnya di masyarakat. Ketika Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi pemimpin, terjadi perselisihan dan perlawanan dari mereka, khususnya para pedagang dan pebisnis Arab kala itu. Akhirnya Rasulullah Saw. hijrah ke Yasrib/Madinah (622 M). Di Madinah Rasulullah berperan ganda, selain sebagai pemimpin agama juga menjadi pemimpin negara/pemerintahan. Dari kota Madinah inilah syiar dan pemerintahan Islam dikelola, sampai akhirnya Mekkah dapat dikuasai. Bahkan daerah kekuasaannya telah meliputi seluruh semenanjung Arabia.
Pada jaman Rasulullah Saw. sesungguhnya telah muncul embrio kelompok penentang Nabi/Islam. Setidaknya ada tiga kelompok yang mengemuka saat itu, yaitu: (1) kelompok inkar as-sunnah (mengingkari hadits Nabi); (2) kelompok inkar Az-zakah (menolak membayar zakat), dan (3) kelompok murtad (meninggalkan Islam dan kembali ke jahiliyah). Namun tiga kelompok ini, kala itu tidak diperangi, karena masih berikrar sebagai penganut Islam, dan mengakui kenabian Muhammad Saw. selain itu, Nabi Muhammad Saw. lebih memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan setiap masalah, sebagaimana sikap Nabi ketika ditekan orang-orang Quraysy di Thaif saat menyebarkan Islam.
Di jaman Abu Bakar Ash-shiddiq, kelompok-kelompok di atas semakin menunjukkan eksistensinya, bahkan menolak terhadap seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., sehingga Abu Bakar meniscayakan peperangan atas mereka. Kelompok-kelompok penentang Nabi tersebut, akhirnya berhasil ditumpas, dan seluruh tokohnya tewas dalam pertempuran. Perang melawan mereka di jaman Abu Bakar disebut dengan Perang
Riddah (perang melawan kaum murtad). Tokoh-tokohnya antara lain:
Al Aswad Al Ansi. Dia memimpin Pasukan Badui di Yaman dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Abu Bakar. Ia terbunuh dalam pertempuran tersebut, dan pasukan Islam berhasil menguasai Yaman;
Thulaihah bin Khuwalid Al Asadi. Dia menganggap dirinya sebagai Nabi. Pengikutnya berasal dari: Bani Asad, Bani Gatafan, dan Bani Amir. Pasukan muslim berhasil mengalahkan mereka di bawah panglima perang Khalid bin Walid, dalam pertempuran di Bazakhah;
Malik bin Nuwairah. Dia merupakan pemimpin Bani Yarbu dan Bani Tamim. Sepeninggal Nabi, ia tidak mengakui Islam. Malik bin Nuwairah juga terbunuh dalam pertempuran yang dipimpin Khalid bin Walid;
Musailamah al-Kadzab (Sang Pembohong). Musailamah adalah tokoh yang paling berbahaya. Dia mengklaim sebagai Nabi ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, baik di kalangan umat Islam maupun Kristen. Pengikut terbesar Musailamah adalah Bani Hanifah di Yamamah. Pasukan muslim yang dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal dan Syurahbil bin Hasanah hampir kalah dalam pertempuran melawan Pasukan Musailamah. Namun setelah datang bantuan bala tentara muslim di bawah Khalid bin Walid, pasukan Musailamah berhasil dikalahkan. Tercatat ada 10 ribu kaum murtad terbunuh, dan ribuan kaum muslimin gugur menjadi syuhada dalam pertempuran ini (rata-rata huffadz : ini pula yang menjadi cikal bakal kodifikasi Al-Quran).
SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN DALAM ISLAM
Bibit-bibit awal kemunculan aliran dalam Islam sesungguhnya mulai terjadi pada saat Rasulullah Saw. wafat (632 M). Persoalannya berkisar pada masalah siapa pengganti pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Meski persoalan itu akhirnya dapat diselesaikan, namun bibit-bibit perpecahan sudah mulai muncul pada saat itu. Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat
Khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Utsman bin Affan ke Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Perpecahan itu semakin kuat pada saat kekuasaan Ali Ibn Abi Thalib. Tercatat ada dua peperangan besar yang terjadi di jaman Khalifah Ali, yaitu (1) Perang Jamal (Perang Onta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah, dibantu oleh Zubeir bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah; (2) Perang Siffin, yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abi Sufyan (Gubernur Damaskus kala itu).
Perselisihan antara Kubu Sayyidina Ali dan para penentangnya itu melahirkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, antara lain: Syiah, Khawarij, Murjiah, Mutazilah, Asyariyah, Jabariyah, Qadariyah, dan Ahlussunnah wal Jamaah. Aliran-aliran tersebut, dalam perkembangannya telah menginspirasi umat Islam dunia di berbagai bidang, seperti hukum (fiqh ), akidah (teologi), dan filsafat.
Oleh karena itu, jika dipetakan perkembangan pemikiran Islam secara umum dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
Pemikiran Ahli Fikih;
Pemikiran fikih sudah dimulai sejak Rasulullah masih hidup. Pada masa itu, semua hukum fikih bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Setelah Nabi wafat, perkembangan fikih pada masa sahabat dibagi ke dalam dua macam kelompok, yaitu: (1) kelompok Ahl an Nash dan (2) kelompok Ahl al Rayi . Perkembangan fikih setelah masa kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib disebut dengan Fikih Tabiin .
Pemikiran Teologi Islam;
Pemikiran teologi Islam. Setelah kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh para sahabat, banyak tumbuh dan berkembang golongan teologi Islam, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan di atas. Tujuan dari golongan ini adalah menjelaskan dan membela akidah Islam, serta menolak akidah yang bertentangan dengan akidah Islam.
Pemikiran Filsafat Islam;
Pemikiran Filsafat Islam. Pada masa ini banyak muncul tokoh-tokoh pemikir filsafat Islam, antara lain: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Syuhrowardi, Al-Kindi, Abu Bakar Arrazi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Pemikiran Modern.
Pemikiran Modern. Pada kelompok ini muncul beberapa pemikiran Islam, antara lain:
Islam Tekstual, corak pemikiran ini bercorak fundamental dan tekstualis;
Islam Revivalisme, yakni pengkombinasian Islam dan modernitas, tapi masih kental nilai keislamannya;
Islam Modern. Coraknya lebih banyak memasukkan nilai-nilai kemodernan dalam pemikiran Islam;
Neo Modernisme. Pemikirannya lebih banyak ke liberalisme dan kontekstualis.
Keberagaman pandangan dan pemikiran di kalangan umat Islam seperti dipaparkan di atas, pada satu sisi telah berhasil membawa citra Islam yang maju, berkembang dan modern pada sejumlah dinasti setelah era kekhalifahan, namun pada sisi yang lain juga telah membawa citra Islam terpuruk akibat pertentangan politik di kalangan mereka sendiri.
SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI INDONESIA
Berbicara tentang peta pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah masuknya agama Islam di negeri ini. Terdapat dua versi mengenai kapan dan dari mana agama Islam itu disebarkan. Pertama, pendapat dari Snouck Hurgronje yang menyebut bahwa pada abad ke-13 M. merupakan awal dari masuknya agama Islam ke tanah air, melalui Persi dan Gujarat (India). Versi ini cukup banyak menghiasi buku-buku sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia mulai dari pendidikan dasar sampai PT. Kedua, pendapat Thomas W. Arnold, yang menyebut Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 M dibawa oleh para saudagar Arab (Mekah dan Mesir) sejak abad pertama Hijriyah. Pendapat ini diperkuat oleh Buya Hamka (1982), seperti dikutip dalam bukunya Sejarah Umat Islam di Indonesia. Corak dan ajaran Islam yang pertama kali berkembang menurutnya banyak dipengaruhi oleh Madzhab Syafi'i.
Hamka memiliki sejumlah argumentasi mengenai pendapatnya itu, antara lain:
dalam buku catatan perjalanannya, Ibnu Batutah menulis, ia menyaksikan Raja-raja Samudera Pasai bermadzhab Syafi'i. Dan madzhab Syafi'i kala itu kebanyakan dianut oleh umat Islam di Mekah (sebelum jatuh ke ibnu Saud) dan Mesir.
Al Malik, gelar yang dipakai oleh raja-raja Pasai adalah sama dengan gelar yang dipakai oleh raja-raja Mesir. Tiruan gelar ini tidak ditemukan di Iran (Persia) atau di India. Gelar Syah raja-raja Malaka baru dipakai pada permulaan abad 15 M. Ini berarti bahwa pengaruh India dan Persia datang setelah pengaruh Arab dan Mesir. Masih menurut Hamka, jika pengaruh India yang besar maka Madzhab Hanafiyah yang paling berpengaruh di sini. Dan Jika pengaruh Iran yang kuat, tentu Madzhab Syiah yang paling berpengaruh di sini. Faktanya kedua madzhab tersebut tidak populer di negeri ini, sejak permulaan Islam masuk sampai sekarang.
Sebelum Ibnu Batutah melawat ke Kerajaan Pasai sudah ada ulama besar Indonesia yang mengajar ilmu tasawuf di Adn dan Arab, yakni Syaikh Abu Masud Abdullah bin Masud Al-Jawi. Ini merupakan bukti bahwa hubungan dalam mencari ilmu pengetahuan Islam langsung ke tanah Arab, bukan ke India atau Malabar.
Sejalan dengan pendapat di atas, KH Abdul Muhith Muzadi (2006) menjelaskan bahwa sejak awal para muballigh dunia Islam memilih Indonesia sebagai lahan baru yang dapat ditanami Islam secara damai dan sukarela, setelah penyiaran agama Islam di tempat lain diwarnai kekerasan dan peperangan. Islam yang disiarkan di Indonesia beraliran Ahlussunnah wal Jamaah dan berhaluan madzhab yang berwatak tawasuth dan rahmatan lil alamin . Tradisi keislaman seperti ini terus berkembang dan dikembangkan pada masa Wali Songo sekitar abad 13-15 M. Setelah era Wali Songo, lahirlah ulama-ulama Nusantara yang sangat terkenal yang mewarisi tokoh Islam sebelumnya, seperti Hamzah Fansyuri, Syamsudin al Sumaterani, dan Nuruddin Arraniri dan sebagainya sebagai ulama generasi 16 M. Karya-karya mereka antara lain Syarah al Asyiqin (Minuman orang birahi), Asrar Al Arifin (Rahasia Ahli Marifat), muncul juga karya-karya lain bercorak sastra Taj al Salatin (Mahkota raja-raja) dan lain-lain.
Para ulama generasi selanjutnya, sebagaimana dikutip Ahmad Ginanjar Syaban (2009), antara lain: syaikh Abdurrauf Asingkili Al-Jawi (Aceh, Singkil), Syaikh Yusuf Al Makasari (Sulawesi), Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya, Sunda), sebagai generasi abad 17 M. Lalu, Syaikh Burhanuddin Al-Jawi (Ulakan Minang), Syaikh Arsyad Al-Banjari (Banjarmasin), Syaikh Abdusshomad Al-Falambangi (Palembang), sebagai generasi abad 18 M. Kemudian, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani (Banten), Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Minangkabau), dan Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan (Madura) sebagai generasi abad 19 M. yang kemudian dilanjutkan generasi ulama pesantren sampai sekarang.
Corak keislaman Nusantara yang syafiiyah ini mengalami proses polarisasi setelah dunia Arab dilanda gerakan pemurnian dan pembaharuan, yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan paham Wahabiyahnya berkolaborasi dengan penguasa baru Arab yakni Ibnu Saud. Gerakan ini tidak hanya menyangkut aspek ibadah dan akidah, namun juga muamalah. Sejak paham Wahabi merambah tanah air, maka sejak itulah umat Islam Indonesia yang awalnya homogen menjadi terpolarisasi dengan paham Wahabi sampai sekarang dengan varian-varian yang lebih beragam.
PETA PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM DI INDONESIA
Peta pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia dapat dirunut sejarahnya pada dekade tahun 1800-1900-an, setelah Haramain jatuh ke Ibnu Saud. Penguasa baru di tanah Arab itu kemudian menggandeng Ibnu Abdul Wahab dalam gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam. Ada dua missi besar yang diinginkan yakni :
Menjadi Khilifah Islamiyah yang bersifat tunggal di kalangan dunia Islam, untuk menggantikan Khilifah Usmaniyah di Turki yang baru digulingkan oleh Gerakan Turki Muda pimpinan Kemal Attaturk;
Menjadikan paham Wahabi sebagai satu-satunya madzhab tunggal di kalangan umat Islam dunia.
Sejumlah tokoh dan organisasi yang memainkan peranan penting dalam gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam menurut Ricklefs dalam Muhibbin (2010) di antaranya: Syaikh Thaher bin Jamaluddin Al-Azhari (wafat, 1857), terlibat aktif dalam penyebaran gagasan pemurnian dan pembaharuan Islam melalui surat kabar Al Imam yang terbit di Singapura. Selain itu, dikenal pula nama Syaikh Muhammad Djamil Djambek (wafat, 1947) dan Haji Rasul/Haji Karim Amrullah (wafat, 1945). Ketiga putra minang ini dengan terang-terangan mencela tarekat dan praktek-praktek beragama muslim melayu. Gerakan ini juga menyebar ke Tanah Jawa. Jamiyatul Khayr (1905) merupakan komunitas Arab di Batavia, tercatat sebagai organisasi Islam yang mengambil prakarsa pertama dalam penyebaran paham Wahabi di tanah air. Kemudian Perserikatan Ulama (1911) di Jawa Barat, Muhammadiyah (1912) di Yogyakarta, dan Al-Irsyad atau Jamiyatul Ishlah wal Irsyad (1915), serta Persis (1923) di Bandung.
Paham Wahabiah yang merambah ke tanah air melalui sejumlah tokoh dan organisasi di atas menimbulkan ketegangan di internal umat Islam Indonesia. Masalah pokok yang menjadi sumber ketegangan sesungguhnya bukanlah substansi dari nilai ajaran Islam, tetapi lebih menunjuk kepada aspek khilafiyah , seperti soal taqlid, upacara kematian, tahlil dan talqin , ushalli dan sebagainya atau isu yang terkenal kala itu adalah TBC (Taklid, Bidah dan Churafat). Upaya untuk menyatukan perbedaan ini bukan tidak ada, tetapi selalu gagal dalam beberapa kali pertemuan. Fenomena inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab atau motivasi kenapa Nahdlatul Ulama (NU) harus berdiri pada tahun 1926.
Setelah NU berdiri, ketegangan di kalangan umat Islam Indonesia bukan tidak ada, tetapi berpindah dari ranah kultural ke ranah politik. Dijelaskan oleh Djohan Effendi (2010), sejak pembentukannya pada tahun 1926, NU menempati posisi sentral dan memainkan peranan penting di kalangan masyarakat santri, terutama di pedesaan. Ia menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran kolektif umat Islam Indonesia, terutama di bidang agama, sosial, kebangsaan, pendidikan dan sebagainya.
Beberapa catatan yang menjadi prestasi NU sejak jaman kolonial, revolusi dan kemerdekaan, antara lain:
Keputusan (ijtihad politik) NU tentang status Indonesia di jaman Belanda;
Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan RI;
Pemberian gelar kepada Presiden Soekarno;
Kembali ke UUD 1945;
Pembubaran PKI;
Keputusan tentang asas tunggal dan NKRI.
Seluruh keputusan NU tersebut menjadi landasan bagi seluruh bangsa, baik Islam maupun non Islam, dan baik NU maupun non NU. Dinamika yang terjadi di tubuh NU, baik pada jaman Kolonial, Revolusi Kemerdekaan, era Orla dan era Soeharto merupakan salah satu bentuk gerakan pemikiran di tengah kompetisi politik dan budaya umat Islam Indonesia kala itu.
PENUTUP
Berdasarkan catatan di atas, jelas sekali bahwa paham Wahabi dunia, merupakan satu-satunya aliran yang cukup massif melakukan penetrasi terhadap kantong-kantong umat Islam di Indonesia, sementara aliran lain, seperti Syiah dan sebagainya (meski) diakui pernah masuk ke Indonesia tetapi tidak berdampak signifikan terhadap mainstream Islam di negeri ini. Kini, Islam Indonesia semakin memiliki corak dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran maupun gerakan. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi.
Dari segi gerakan dan organisasi massa/orpol, kita mengenal beberapa segmen, antara lain: Sarekat Dagang Islam-SDI (1905); Jamiatul Khoiriyah (1905); SDI berubah menjadi SI (1911); Muhammadiyah (1912); Al Irsyad (tt); Persis (1923); NU (1926); Perti (1928); Al Washliyah (1930); dll. Adapun yang berbentuk partai politik, antara lain: PSI (1923); Perti (tt); Partai Arab (tt); Masyumi (1943); NU (1953), PSII (tt), Parmusi (tt), dll. Kini, partai politik Islam terfragmentasi pada berbagai partai, antara lain: PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB. Dikalangan pemuda dan mahasiswanya, terdapat sejumlah organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, antara lain: PMII, HMI, IPNU/IPPNU, PEMUDA MUHAMMADIYAH, IMM, PII, dan lain-lain. Pada kelompok kepentingan (interest group ), terdapat beberapa organisasi, antara lain: FPI, HTI, KISDI, Lasykar Jihad, JAT, MMI, DDII, JIL, JIM dan lain-lain.
Sedangkan dari sisi pemikiran, kita mengenal ada sejumlah kategori yang biasa dilekatkan dalam pemikiran Islam di Indonesia, yakni Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam neo-tradisionalis, Islam neo-modernis, Islam liberal, Islam post-tradisionalis, Islam radikal, Islam ekstrim, Islam moderat, Islam fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri, dan sebagainya.
Menurut catatan yang diambil dari Workshop Islam dan Pluralisme (2008) Semua varian yang disebutkan di atas dalam sejarah keindonesiaan tidak jarang satu sama lain mengalami benturan, ketegangan, pergesekan, dan persaingan yang sangat dinamis. Dinamika itu terjadi karena didorong oleh banyak faktor. Di antara faktor yang dominan adalah perebutan kekuasaan (akses) politik dan ekonomi. Relasi antar organisasi ini juga tidak simetris atau paralel, tetapi seperti sarang laba-laba yang satu titik dengan titik lain bisa saling berhubungan. Jaring laba-laba ini bukan untuk memperkuat atau melemahkan, melainkan semata-mata untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Oleh karena itu, jika dilihat dari perspektif politik, tidak selalu orang NU memilih atau mendukung PKB, meski PKB secara resmi didirikan oleh orang-orang NU. Banyak orang NU yang mendukung PPP, PBB, Golkar, PDIP, bahkan PKS. Begitu juga orang Muhammadiyah tidak dapat diidentikkan dengan PAN atau PKB. Di beberapa daerah, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, NTB, tidak sedikit orang NU adalah orang Perti, al-Washliyah, al-Khairat, DDI, Nahdlatul Wathan. Satu orang aktif di dua organisasi sosial keagamaan sekaligus. Bahkan, ada orang NU yang menjadi aktivis Muhammadiyah, Lasykar Jihad, FPI, dan Hizbut Tahrir. Ini betapa cair dan dinamisnya organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yang sekaligus juga menandai betapa sulitnya membuat identifikasi dan kategorisasi berdasarkan organisasi keagamaan.
Ragam gerakan dan pemikiran tersebut secara makro dan simplistis dapat dikategorikan menjadi dua saja, yakni, Pertama, Islam yang orientasi perjuangan dan cita-cita sosialnya menjunjung tinggi keluruhan Islam dan kaum muslimin ( izzul Islâm wal Muslimîn), yakni Islam Eksklusif. Yang masuk dalam kategori ini secara umum adalah organisasi DDII, LDII, FPI, MMI, HTI, Persis, dan sebagian orang Muhammadiyah. Kedua, Islam yang berorientasi pada kerahmatan semesta ( rahmatan lil âlamîn ), yakni Islam Inklusif. Masuk dalam kategori inklusif secara umum adalah organisasi NU, orang-orang (bukan keorganisasiannya) Muhammadiyyah, al-Washliyyah, Perti, al-Khairat, dan Nahdlatul Wathan.
Pertanyaannya adalah, di mana posisi PMII di tengah pergumulan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia? untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat ditelisik dari akar kesejarahannya, ideologi gerakannya, komunitasnya, dan segala performance yang melekat pada organisasi ini dan orang-orangnya. Di sini saya tidak akan memberikan stigma dan kategorisasi apapun kepada PMII. Karena hanya PMII-lah yang sejatinya tahu akan jati dirinya. Yang terpenting adalah bagaimana PMII tetap menjaga komitmennya sebagai organisasi yang berbasis akademik, berbasis keislaman, dan keindonesiaan, yang secara dinamis terus dikontekstualisasikan dalam dimensi kekinian dan keakanan, untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat, bangsa, agama dan kemanusiaan.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thoriq
Wassalammualaikum. Wr. Wb.
- Semoga Bermanfaat -
TEKNIK LOBI DAN NEGOSIASI
Menurut Stephen Robbins dalam bukunya Organizational Behavior ( 2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Sedang dalam komunikasi bisnis, negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan.
Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :
Kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan.
Terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak.
Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain.
Kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ? Menurut Arbono Lasmahadi (2005), upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
Persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak,
Salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain.
Negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi.
Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut.
Kerangka dasar yang dimaksud antara lain :
Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi?
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan?
Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan?
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :
BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan.
Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.
ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.
Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan.
Strategi Dalam Bernegosiasi
Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :
Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation.
Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.
Taktik Dalam Negosiasi
Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
Membuat agenda. Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan.
Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.
Membuat Tanggal waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan.
Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh jahat dan baik pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh jahat ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh baik ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh jahat, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
The art of Concesin .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi .
Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak
Perangkap Dalam Negosiasi
Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and the Heart of Negotiation, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama,yaitu :
Leaving money on table (dikenal juga sebagai lose-lose negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan win-win solution.
Setting for too little ( atau dikenal sebagai kutukan bagi si pemenang), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh.
Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan.
Setting for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain.
Proses Negosiasi
Berikut proses negosiasi :
Persiapan
Memulai
Langkah strategis
Diskusi dan komunikasi
Melakukan pengukuran :
Diri
Lawan
Situasi
Pengembangan strategi
Penutup dan kesepakatan
Pasca kesepakatan
NAHDOTUN NISA'
Nahdotun nisa', diksi "nahdoh"; bangkit, mengindikasikan seakan perempuan itu mengalami keambrukan. Sudut pandang ini terjadi, karena menggunakan cara pandang (epistemologi) barat. Eropa centris. Kita terkondisi, seakan-akan, yang baik, yang benar, yang berkembang, yang maju, dan yang segala-galanya adalah barat. Barat dijadikan jujukan. Barat dijadikan kiblat peradaban. Padahal, dalam segala hal -tidak hanya soal perempuan- kita memiliki cara pandang sendiri dalam berbangsa dan bernegara, yang peradaban moyangnya lebih maju ketimbang peradaban bangsa lain di antara sekitar abad ke XII-XVIII.
Mengapa kita mengalami kemunduran? Karena kita terprosok, terhasud untuk saling membenci sesama saudara sebangsa sebab perbedaan-perbedaan; baik agama, suku, bahasa, dan bangsa. Perbedaan itu yang dijadikan alat oleh bangsa lain untuk mengadu domba sesama saudara sebangsa di antara kita.
Nahdatun Nisa', menjadi tidak tepat jika cara pandang kita dalam memaknainya tidak menggunakan cara pandang yang dimiliki moyang. Apa cara pandang itu? Sungguh tidak benar dalam tata etik masyarakat Nusantara kala itu, bahwa perempuan dinomorsekiankan setelah laki-laki sebagaimana tuduhan dalam cara pandang orang Eropa.
Istilah diskriminasi dan membatasi gerak-gerik perempuan, itu semua propaganda Eropa untuk mendegradasi nilai luhur bangsa Nusantara. Dalam cara pandang orang Nusantara, sudah dikenal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki di ranah publik sedangkan perempuan di ranah domestik. Pembagian peran ini menjadi hancur saat Eropa dengan proganda distruknya menuding bahwa pembagian ini bagian dari pembatasan atas gerak-gerik perempuan. Ingat, sekali lagi, ini cara pandang Eropa yang sosial, politik, ekonomi, dan budayanya berbeda dengan kita; pewaris peradaban bangsa Nusantara.
Padahal, pembagian ala orang Nusantara itu sangat efektif untuk memperteguh spirit kebangsaan. Laki-laki berada di ranah publik karena laki-laki memerankan diri untuk menafkahi keluarga. Kala itu, yang banyak, kerja-kerja fisik. Sedangkan laki-laki secara fisiologis, lebih layak untuk berada di ranah publik.
Bagaimana dengan perempuan? Perempuan memiliki peran yang tak kalah berat. Menurut saya, malah lebih berat perannya ketimbang laki-laki. Perempuan yang berperan di ranah domestik, bukan berarti pemaknaan domestik sesempit hanya soal "kasur, dapur, dan sumur", tapi lebih kepada, menjadi penanggung jawab utama dalam proses penempaan generasi. Mendidik anak, menempa anak menjadi tangguh, kala itu lahir dari hasil peran perempuan yang berada di ranah domestik. Karena tugasnya mempersiapkan generasi yang hebat, perempuan tertuntut untuk lebih berilmupengetahuan ketimbang laki-laki. Kerja-kerja perempuan tidak dalam tonjolisasi fisik sebagaimana laki-laki, tapi lebih kepada kerja fikiran. Ditopang oleh lembut santunnya perangai perempuan.
Mengapa perempuan salah satu tugasnya adalah mengawali dalam penempaan generasi? Karena bangsa yang terdidik, kemudian melahirkan generasi yang terbaik, barawal dari proses penempaan yang dijalankan di dalam sebuah keluarga. Pendidikan keluarga, perempuanlah pemeran utamanya.
Jadi, pamaknaan domestik sebagaimana cara pandang Eropa, itu jelas memuat propaganda untuk mendegradasi orang Nusantara. Terbukti, gerakan perempuan Indonesia hari ini, rata-rata menggunakan cara pandang Eropa. Gerakan perempuan ini justru turut berkontribusi atas kebobrokan moral dan mental orang Indonesia kini.
Eropa, dengan konsep kesetaraannya, di situ perempuan juga didorong agar turut "merebut" ranah publik yang awalnya hanya didominasi oleh laki-laki. Karena itu, mereka malah justru terjerembab dalam eksploitasi di bawah konstruksi sistem ekonomi kapitalistik. Perempuan malah dijadikan alat yang cukup menawan dalam serangkaian agenda ekonomi yang mendorong kebebasan kepemilikan materiil pribadi ini. Kehormatan perempuan kemudian menjadi semu saat gerak bebasnya justru malah menjadi bagian dari alat ekonomi berbasis liberalistik. Ia tersungkur hancur akibat faham-faham yang melabrak batasan peran dan fungsi manusia itu sendiri.
Ini mengapa terjadi?
Jelas, gerakan perempuan dipengaruhi oleh ideologi liberalistik. Banyak wanita yang ke sana kemari mengaku sebagai aktivis perempuan memilih bergaya hidup seperti laki-laki. Jiwa feminimnya banyak yang tidak begitu diperhatikan. Ia lebih mau tampil sebagaimana laki-laki. Malah, tak sedikit dari aktivis perempuan, yang memilih tidak berkeluarga, atau keluarganya gampang retak, karena bangunan keluarga itu larut dalam konstruksi cinta yang dikondisikan oleh ekonomi kapitalistik liberalis. Dalam hal ini, pemujaan atas cantik-cantik fisik hasil rekayasa kosmetik.
Jauh sebelum liberalisme menguasai dunia, dengan sistem ekonomi kapitalistiknya kini, sekali lagi, kita bangsa Indonesia telah memiliki sistem ekonomi dan tata sosial yang di PMII dijadikan tata pijak bernama Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Tidak eksploitatif merusak sebagaimana sistem ekonomi kini.
Tapi karena, lagi-lagi, kita terkondisi untuk menjadi bagian dari arus besar di bawah paham ideologi liberalistik, maka kesejatian kita sebagai bangsa terkoyak-koyak hancur, terganti oleh mental munafik; berbuat bukan di bawah kesadaran pengetahuan dan nuraninya, tapi atas kehendak konstruksi pasar kapitalistik dengan cirinya yang materialis dan pragmatis itu.
Islam dan PMII
Kita tahu bahwa Islam secara giografis lahir di Arab Saudi. Tapi karena Islam adalah ajaran nilai, maka saat ajaran ini menyebar tidak bisa dilepas oleh kebudayaan masyarakat di mana Islam itu disyiarkan.
PMII, yang embriologi ajarannya mengacu kepada Nadhlatul Ulama' (NU), di mana NU itu slogannya familiar dengan istilah "almuhaa fadatu alaa qodiimis sholih wal akhdu biljadidil ashlah", maka corak ber-Islam-nya PMII pun sebagaimana digariskan oleh NU. Bagaimana itu? Mensyiarkan Islam dengan prangkat budaya, warisan nenek moyang bangsa.
Bagaimana dengan krangka gerak untuk para perempuan, guna mengimbangi konstruksi propagandis di bawah bendera gerakan gender, feminis'm, dengan cara pandang Eropa centris? Jawabnya, sederhana, dorong perempuan-perempuan PMII, untuk kembali mengenali kesejatian bangsa melalui keluhuran moyang. Di mana itu? Langsung memulainya dengan belajar kepada ibunya sendiri, neneknya sendiri, dan perempuan-perempuan Indonesia lain yang masih berpegang pada prinsip nilai para leluhur. Juga, perempuan-perempuan PMII, harus mau bersemangat untuk membuka kepustakaan-kepustakaan yang menarasikan tentang bagaimana perempuan-perempuan Nusantara dulu hidup dan bersosial secara baik.
Bagaimana dengan gerakan femenisme sebagaimana konstruksi Eropa? Ya, harus juga dipelajari sekedar pemantapan pengetahuan dari sekian ritme gerakan feminisme di dunia. Tapi jangan kemudian kita menjadikannya sebagai jujukan kebenaran dan kebaikan. Kita harus menformulasi sendiri gerakan feminisme Indonesia yang acuan utamanya adalah warisan luhur nan adiluhung yang dulu telah ditorehkan nenek moyang sendiri.
Akhirnya, hanya pada-Mu Allah saya memohon pertolongan sebagai satu-satunya dzat pemilik kebenaran.
Allahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar