Rabu, 07 Oktober 2015

JATI DIRI PMII

Keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU pada tanggal 1-2 November 2014 di Jakarta salah satunya merekomendasikan organisasi kemahasiswaan PMII, yang dilahirkan pada 17 April 1960 di Surabaya, untuk kembali kepada NU secara struktural, yakni sebagai Badan Otonom. Dengan tegas, PBNU memberikan masa waktu hingga Muktamar NU 2015.
Membaca rekomendasi ini, tentu ada dua hal yang bisa ditangkap. Pertama, NU menginginkan PMII menjadi bagian dari NU secara struktural, sehingga perlu memasukkan PMII sebagai Badan Otonom.
Kedua, bisa saja para pengurus NU memiliki kekhawatiran bahwa kader-kader PMII sudah keluar dari ajaran NU. Sehingga harus “dipaksa” untuk kembali ke NU. Jika alasan PBNU lebih pada yang kedua, tentu saya sebagai bagian dari kader PMII dan NU sangat sedih, bahkan bisa dibilang kecewa.
Siapa yang Keluar?
Kembali adalah kalimat ajakan untuk pulang. Ibarat seorang anak yang sudah lama pergi dari rumahnya, lalu oleh orang tuanya diajak untuk pulang (kembali) ke rumah. Jika narasi ini yang menggambarkan NU untuk mengajak PMII kembali ke NU, maka seakan-akan PMII sudah lama keluar dari NU dan kemudian diajak untuk pulang ke rumah, NU.
Perlu dipahami secara bersama bahwa PMII tidak pernah keluar dari NU, bahkan deklarasi Independensi Murnajati, Malang pada 14 Juli tahun 1972 yang menjadi alur sejarah awal tidak pernah menegaskan PMII memisahkan secara nyata dari NU. PMII hanya memisahkan secara struktur dari NU, karena pada saat itu NU menjadi Partai Politik. PMII tetap secara nilai dan filosofi perjuangan PMII menjadikan NU sebagai madzhab.
Lebih lanjut, untuk menegaskan hubungan PMII dan NU secara intim, pada tahun 1989 PMII melakukan Penegasan Cibogo (Kongres Medan) dan merevisi pola hubungan NU-PMII dengan pola interdependensi. Deklarasi Interdependensi terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta, tahun 1991. Interdepensi mengandung arti bahwa PMII menjadi bagian NU dari dalam tetapi tidak menggantungkan kepada NU secara keorganisasiaan, namun satu sama lain saling membutuhkan.
Sampai saat ini, aktifitas keorganisasian PMII tidak pernah bertentangan dengan NU, baik secara substansi perjuangan gerakan, visi kenegeraan, maupun dalam merawat tradisi keagamaan. PMII tetap konsisten merawat dan menjalankan tradisi sebagaimana yang diajarkan oleh kiai-kai NU. Para kader-kader PMII di seluruh Indonesia tetap konsisten menjalankan aktifitas keagamaam yang diajarkan NU seperti tahlil, tawassul dan salawat. NU memperjuangkan Islam rahmatal lil alamin, pun dengan PMII merawat Islam rahmatal lil alamin di kampus-kampus.
Dalam ranah ideologi, PMII juga menempatkan Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai metode berfikir dan bertindak (manhaj al fikr) serta sebagai implementasi ideologi gerakan.
Dengan posisi PMII dan NU yang demikian, kenapa mesti menegosiasikan PMII kembali ke NU? Toh, PMII tidak pernah keluar dari NU. Apa yang diperjuangkan NU senafas dan sejalan dengan perjuangan PMII.
Memperkuat Kaderisasi PMII
Menjadikan PMII sebagai bagian Badan Otonom NU bukanlah solusi tepat dalam mengembangkan PMII itu sendiri. Menurut penulis, ada beberapa konsekuensi logis yang diakibatkan jika PMII menjadi Badan Otonom NU. Pertama, PMII akan kesulitan dalam melakukan pengembangan dan eksperimentasi gerakan politik kemahasiswaan. Kenapa, sebab akan banyak ketergantungan kepada pengurus NU, sehingga politik patron clien yang tercipta, bukan relasi nilai yang terbangun. Efek yang terjadi, kader PMII akan selalu menempatkan NU sebagai bahan rujukan tunggal ijtihad gerakannya. Tak ada upaya untuk membuka ijtihad di luar NU, sebab posisi struktural yang top-down and bottom-up. Kedua, kemandirian dalam mengelola organisasi akan merosot, karena terbiasa ketergantungan kepada NU.
Keberadaan PMII saat ini sudah sangat mandiri dalam mengelola dan membesarkan organisasnya. Terbukti, kader PMII semakin luas dan menjangkau tidak hanya di kampus berbasis keagamaan. Laporan Pengurus Besar PMII Tahun 2014 ketika Kongres PMII XVIII di Jambi menyebutkan bahwa kader PMII sudah sangat varian, ada yang dari perguruan tinggi kesehatan, teknik, dan juga sekolah profesi. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa PMII mampu berdiaspora dan beradaptasi. Sehingga kesuksesan kaderisasi ini perlu ditopang oleh seluruh warga Nahdliyyin, termasuk oleh pengurus NU sendiri.
Jelas, PMII tidak bisa berdiri tanpa NU, dan NU juga tidak bisa berkembang dengan baik tanpa adanya PMII sebagai ruang kaderisasi di tingkat kemahasiswaan. Keberadaan PMII dan NU saling bergantungan dan menguatkan. Sehingga, yang perlu dilakukan saat ini dan ke depan adalah memperkuat kaderisasi di tubuh PMII, bukan mendistorsi keberadaan satu sama lain. Semua kader PMII menyadari, pada akhirnya akumulasi pengetahuan, dan pengelaman yang diasah di kampus akan berakhir pada menguatkan NU. Maka relasi interdepensi ini cukup, tak perlu ditambah, dan juga dikurangi.
Terakhir, Ibu kami tak perlu kembali sebab kami tak pernah pergi dari pangkuanmu. Kami selalu di samping ibu, dengan merawat dan meneruskan perjuangan ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar