Keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU pada tanggal
1-2 November 2014 di Jakarta salah satunya merekomendasikan organisasi
kemahasiswaan PMII, yang dilahirkan pada 17 April 1960 di Surabaya,
untuk kembali kepada NU secara struktural, yakni sebagai Badan Otonom.
Dengan tegas, PBNU memberikan masa waktu hingga Muktamar NU 2015.
Membaca rekomendasi ini, tentu ada dua hal yang bisa ditangkap.
Pertama, NU menginginkan PMII menjadi bagian dari NU secara struktural,
sehingga perlu memasukkan PMII sebagai Badan Otonom.
Kedua, bisa saja para pengurus NU memiliki kekhawatiran bahwa
kader-kader PMII sudah keluar dari ajaran NU. Sehingga harus “dipaksa”
untuk kembali ke NU. Jika alasan PBNU lebih pada yang kedua, tentu saya
sebagai bagian dari kader PMII dan NU sangat sedih, bahkan bisa dibilang
kecewa.
Siapa yang Keluar?
Kembali adalah kalimat ajakan untuk pulang. Ibarat seorang anak yang
sudah lama pergi dari rumahnya, lalu oleh orang tuanya diajak untuk
pulang (kembali) ke rumah. Jika narasi ini yang menggambarkan NU untuk
mengajak PMII kembali ke NU, maka seakan-akan PMII sudah lama keluar
dari NU dan kemudian diajak untuk pulang ke rumah, NU.
Perlu dipahami secara bersama bahwa PMII tidak pernah keluar dari NU,
bahkan deklarasi Independensi Murnajati, Malang pada 14 Juli tahun 1972
yang menjadi alur sejarah awal tidak pernah menegaskan PMII memisahkan
secara nyata dari NU. PMII hanya memisahkan secara struktur dari NU,
karena pada saat itu NU menjadi Partai Politik. PMII tetap secara nilai
dan filosofi perjuangan PMII menjadikan NU sebagai madzhab.
Lebih lanjut, untuk menegaskan hubungan PMII dan NU secara intim,
pada tahun 1989 PMII melakukan Penegasan Cibogo (Kongres Medan) dan
merevisi pola hubungan NU-PMII dengan pola interdependensi. Deklarasi
Interdependensi terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta,
tahun 1991. Interdepensi mengandung arti bahwa PMII menjadi bagian NU
dari dalam tetapi tidak menggantungkan kepada NU secara keorganisasiaan,
namun satu sama lain saling membutuhkan.
Sampai saat ini, aktifitas keorganisasian PMII tidak pernah
bertentangan dengan NU, baik secara substansi perjuangan gerakan, visi
kenegeraan, maupun dalam merawat tradisi keagamaan. PMII tetap konsisten
merawat dan menjalankan tradisi sebagaimana yang diajarkan oleh
kiai-kai NU. Para kader-kader PMII di seluruh Indonesia tetap konsisten
menjalankan aktifitas keagamaam yang diajarkan NU seperti tahlil,
tawassul dan salawat. NU memperjuangkan Islam rahmatal lil alamin, pun
dengan PMII merawat Islam rahmatal lil alamin di kampus-kampus.
Dalam ranah ideologi, PMII juga menempatkan Ahlussunnah Wal Jamaah
sebagai metode berfikir dan bertindak (manhaj al fikr) serta sebagai
implementasi ideologi gerakan.
Dengan posisi PMII dan NU yang demikian, kenapa mesti menegosiasikan
PMII kembali ke NU? Toh, PMII tidak pernah keluar dari NU. Apa yang
diperjuangkan NU senafas dan sejalan dengan perjuangan PMII.
Memperkuat Kaderisasi PMII
Menjadikan PMII sebagai bagian Badan Otonom NU bukanlah solusi tepat
dalam mengembangkan PMII itu sendiri. Menurut penulis, ada beberapa
konsekuensi logis yang diakibatkan jika PMII menjadi Badan Otonom NU.
Pertama, PMII akan kesulitan dalam melakukan pengembangan dan
eksperimentasi gerakan politik kemahasiswaan. Kenapa, sebab akan banyak
ketergantungan kepada pengurus NU, sehingga politik patron clien yang
tercipta, bukan relasi nilai yang terbangun. Efek yang terjadi, kader
PMII akan selalu menempatkan NU sebagai bahan rujukan tunggal ijtihad
gerakannya. Tak ada upaya untuk membuka ijtihad di luar NU, sebab posisi
struktural yang top-down and bottom-up. Kedua, kemandirian dalam
mengelola organisasi akan merosot, karena terbiasa ketergantungan kepada
NU.
Keberadaan PMII saat ini sudah sangat mandiri dalam mengelola dan
membesarkan organisasnya. Terbukti, kader PMII semakin luas dan
menjangkau tidak hanya di kampus berbasis keagamaan. Laporan Pengurus
Besar PMII Tahun 2014 ketika Kongres PMII XVIII di Jambi menyebutkan
bahwa kader PMII sudah sangat varian, ada yang dari perguruan tinggi
kesehatan, teknik, dan juga sekolah profesi. Hal ini merupakan salah
satu bukti bahwa PMII mampu berdiaspora dan beradaptasi. Sehingga
kesuksesan kaderisasi ini perlu ditopang oleh seluruh warga Nahdliyyin,
termasuk oleh pengurus NU sendiri.
Jelas, PMII tidak bisa berdiri tanpa NU, dan NU juga tidak bisa
berkembang dengan baik tanpa adanya PMII sebagai ruang kaderisasi di
tingkat kemahasiswaan. Keberadaan PMII dan NU saling bergantungan dan
menguatkan. Sehingga, yang perlu dilakukan saat ini dan ke depan adalah
memperkuat kaderisasi di tubuh PMII, bukan mendistorsi keberadaan satu
sama lain. Semua kader PMII menyadari, pada akhirnya akumulasi
pengetahuan, dan pengelaman yang diasah di kampus akan berakhir pada
menguatkan NU. Maka relasi interdepensi ini cukup, tak perlu ditambah,
dan juga dikurangi.
Terakhir, Ibu kami tak perlu kembali sebab kami tak pernah pergi dari
pangkuanmu. Kami selalu di samping ibu, dengan merawat dan meneruskan
perjuangan ibu.
Rabu, 07 Oktober 2015
JATI DIRI PMII
Juniska,S.H Lahir di Suka Maju Pada Tanggal 21 Februari 1992.
Alamat : JL. Lintas Timur Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan Kode Pos 30657.
Contac Person / E-mail :
0852 7201 1682 / juniskaefendi@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
Pada Usia 5 Thn Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurus Shomad Cahya Maju (2004), Lalu Melanjutkan Sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Iman Lubuk Seberuk (2007), Kemudian Melanjutkan Di Madrasah Aliyah (MA) Hidayatul Mubtadi'in Nirwana (2009). Sempat Berhenti Selama 2 Tahun, Pada Tahun 2012 Melanjutkan Kuliah Di STAI As-Shiddiqiyah dan Lulus Pada Tahun 2017.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar